Kesiapan seseorang untuk menghadapi sebuah pernikahan memang berbeda-beda. Tidak ada alat ukur pasti yang bisa menyatakan, 'Kamu akan menikah di tahun sekian, umur sekian, pasangannya sekian.' Bahkan paranormal yang bisa ditemui di dunia fana ini saja tidak bisa menentukannya secara tepat.
Masa depan itu, suatu perkara yang akan dilibatkan di akhir dunia dan berujung pada akhir yang kekal. Semua perkara pasti memiliki tanggung jawab. Dan yang sedang Jeremy lakukan sekarang, adalah mempertanggungkan perbuatannya di masa lalu untuk keberlangsungan masa depan.
Entah bagaimana keberlangsungan itu bisa dia gerakan agar apa yang dia inginkan tetap berjalan sama seperti yang dia ingini saat ini. Sedangkan tidak ada yang bisa menjamin di masa mendatang akan seperti apa.
"Pakai ini," ujar Jeremy seraya menyampirkan jaket yang dia bawa dari rumah.
"Buat apa? Nggak dingin, kok."
Jeli terus mendorong uluran Jeremy walau tenaganya tidak sebesar laki-laki itu. Artis yang hanya bisa dia pandangi di layar kaca, kini bisa dia sentuh sesuka hati. Namun, tidak ada yang sempurna di dunia ini.
"Saya nggak peduli kamu nggak kedinginan. Yang penting itu anak saya," ucap Jeremy sangat ketus.
Jeli hampir saja membunyikan dengusan keras jika saja jarak mereka tidak sedekat ini.
"Yaudah, sini!" Jeli mengambil jaket tersebut, memakainya menutupi perutnya. Lalu pandangannya naik pada Jeremy. "Udah, kan? Anak kamu nggak akan kedinginan di perut saya."
Meski sempat terbelalak aneh, Jeremy bisa menguasai diri kembali. Lelaki yang terlalu kaku itu selalu berhasil membuat Jeli kesal, tapi bukan Jelita namanya jika tidak bisa membalikkan keadaan. Meski kecil kemungkinan, tapi Jeremy memang selalu kesal jika Jeli berhasil memancingnya.
"Jalan yang benar!"
Jeremy menekan bahu Jeli agar berjalan di dekatnya. Suka atau pun tidak, Jeremy akan terus menekan Jeli agar menurut padanya. Jeremy tahu betul jika tidak sulit mengendalikan Jeli, karena perempuan itu adalah penggemar fanatiknya. Ya, penggemar yang menjelma menjadi istri karena kejadian bodoh.
Cuaca memang agak sejuk setelah hujan mengguyur bumi. Entah memang suasana yang membuat kesejukan itu sangat menusuk, atau memang keadaan keduanya yang membuat dingin suasana.
"Dokter Yongka bilang apa kemarin? Kandunganmu terlalu riskan kalau dibiarkan berkegiatan seenaknya!" hardik Jeremy.
"Gue nggak ngebabu kali," cibir Jelita tanpa memandang Jeremy. Perempuan itu tidak pernah mau berkata tajam secara langsung di depan Jeremy.
"Apa kamu bilang?"
Menoleh ke arah Jeremy berada, Jeli membalas menekan tangan lelaki itu yang bertengger di pundaknya. "Saya nggak kerja berat, Jer. Nggak jadi pembantu, nggak jadi kuli, nggak jadi sopir, nggak jadi tukang kebun, atau apa pun yang kamu sebut berat. Dokter Yongka terlalu berlebihan."
Tidak terima dengan sanggahan perempuan itu, Jeremy memberhentikan langkah mereka sebelum benar-benar masuk ke lobby rumah sakit.
"Dia dokternya, Jelita!"
"So what? Itu tugasnya sebagai dokter, bilang ini dan itu secara teori yang sudah dia pelajari bertahun-tahun lamanya buat dapat gelar dokter spesialis kandungan. Yang tahu saya dan bayi ini, saya sendiri dan Tuhan yang memberikan nyawa pada anak ini. Dokter Yongka cuma perantara. Tanpa ke dokter pun, saya bisa jaga bayi ini, ketimbang buang-buang duit cuma kontrol dan cuap-cuap bayar lebih dari 500 ribu!"
Tak percaya dengan apa yang berhasil Jelita ucapkan, Jeremy terpekur diam.
"Jer. Saya tahu kamu orang kaya, begitu juga keluargamu. Tapi saya nggak suka diperlakukan seperti orang pesakitan. Saya hamil, Jer. Bukan kena tampek, yang bisa nularin alerginya ke siapa aja. Nggak perlu nanya-nanya ke dokter Yongka itu kemungkinan terburuk, dokter Yongka bukan Tuhan."
Jika Jelita tidak berucap panjang menambahkan penjelasan, Jeremy pasti sudah mencibir perempuan itu. Bahwa Jelita memiliki jiwa miskin yang begitu pelit mengeluarkan uang untuk pemeriksaan kandungan. Tapi faktanya, orang zaman dulu saja bisa merawat bayi mereka di dalam perut tanpa harus bolak balik periksa. Karena apa? Karena zaman dulu, ibu lebih percaya pada kemampuan dirinya merawat bayi mereka.
"Jadi, kamu mau pulang? Nggak usah cek kandungan? Kamu memang ibu yang nggak perhatian sama anak."
"Hei! Jaga ucapan kamu, ya. Nggak cek kandungan bukan berarti nggak peduli sama bayinya, itu pilihan masing-masing orang!"
"Terserah."
Jeremy meninggalkan Jelita berbalik menuju parkiran. Jelita tahu itu gertakan Jeremy, tapi perempuan itu tidak peduli sama sekali dengan apa yang Jeremy lakukan. Membiarkan adalah langkah yang Jelita ambil.
"Bodo amat!" desis Jelita, yang memilih melangkah masuk ke gedung rumah sakit.
Jelita tidak peduli apakah Jeremy menyusul atau tidak, yang terpenting dia tidak sia-sia datang ke rumah sakit. Toh, dia juga memiliki uang sendiri untuk membiayai pemeriksaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding Dumb / Tamat
RomancePutri Jelita hanyalah seorang gadis biasa yang mengagumi Jeremy Dilon. Di malam petaka saat ia berniat meminta tanda tangan sang artis kenamaan, Jelita justru berakhir dengan di ranjang hotel bersama Jeremy. *** Jelita dan Jeremy menjadi dewasa sete...
Wattpad Original
Ada 18 bab gratis lagi