Wattpad Original
Ada 12 bab gratis lagi

Bagian 2.3 ; Terbiasa

55.1K 4.3K 145
                                    

Sebenarnya, Jelita dan Jeremy seperti dipaksa untuk senantiasa bertengkar. Mungkin ada kesal yang tidak bisa mereka saling utarakan dengan baik, hingga lebih memilih menyakiti perasaan satu sama lain melalui perkataan.

Jelita menangis. Dia tidak berhasil menjadi perempuan baik seperti yang almarhum orang tuanya ajarkan. Bukan inginnya terus seperti ini, tapi hidup memaksanya untuk terus terlihat buruk.

Lulus SMA dia beruntung bisa mengenal dan mendapat link untuk bisa lolos menjadi resepsionis salah satu hotel terkenal di Jakarta. Meski banyak cibiran karena Jelita secara tak langsung memanfaatkan kenalannya itu hingga cukup mudahnya menempati lowongan tersebut, tapi mengenal dan berusaha diberi kepercayaan juga bukan hal yang mudah.

Ketika mengagumi Jeremy Dilon melalui layar kaca dan layar lebar karena daya tarik laki-laki itu dalam berakting, berbicara penuh wibawa saat diwawancara, memiliki tampang luar biasa yang tak pernah habis bosannya Jelita rekam dalam kepala... semua sempurna. Namun, mengetahui lelaki yang dia kagumi menidurinya dan mengira dirinya sebagai perempuan bayaran, ekspektasi Jelita langsung jatuh hingga hilang ditelan kekecewaan.

Rasa terbiasa mendapati sosok tak sopan, urakan, mulut jahat, dan perlakuan semena-mena Jeremy padanya benar-benar membuat Jelita sakit.

Menunduk melihat perutnya yang sudah tidak bisa dikatakan miliknya sendiri itu malah menggugah tangis Jelita lebih keras. Jika ada alasan kenapa Jelita mau hidup dengan keadaan tertekan seperti ini, itu karena bayinya. Kalau saja malam itu sperma Jeremy tidak seprima dugaannya, dia pasti masih hidup dengan kebebasan, bahkan bisa memilih tak menjadi fans fanatik utama Jeremy Dilon lagi.

Sayangnya angan tinggalah kenangan yang mengawang-awang. Berandai hanya inai-inai yang berterbangan hingga tersapu badai.

"Bu." Rustini merasa tidak enak karena merasa pertengkaran yang terjadi tadi pagi juga karena dirinya, dan kini melihat mata sembab Jelita wanita itu meringis sedih. "Mau saya ambilkan kompresan biar muka dan mata ibu nggak bengkak?" tawar Rustini.

Jelita menggeleng sekilas. Dia malas bicara, sudah kecewa pada dirinya sendiri karena bicara kasar tadi pagi dipicu oleh ketusnya ucapan Jeremy. Dia tak mau malah menyakiti Rustini dengan ucapannya yang memang suka kejam di fase sentimentil kehamilan.

"Saya masak jamur saus tiram, cobain dulu, ya, Bu. Kalau mual, biar saya masak yang lain."

Jelita mengangguk. Rasanya sedih, saat hamil seperti ini tidak diperhatikan oleh orang yang diinginkan untuk memberi perhatian.

Ibu, sudah tiada. Ayah pun begitu juga adanya. Suami? Jelita tak lagi mengharap. Harapannya sudah tiada semenjak Jeremy dengan entengnya mengira dia perempuan bayaran.

Ah, jangan dipikirin lagi Jeli! Sakit hati terus yang ada! Berulang kali dia menekan diri untuk tak membahas rasa sakit hatinya pertama kali direndahkan Jeremy, tapi semakin lancar juga bayangan itu melintasi kepalanya. Bahkan momen di mana Jeremy memeluk dan mengusap perutnya setiap berangkat tidur tidak mempan sama sekali.

Kalau dalam lirik lagu Isyana Sarasvati 'Tak semua halaman merana, namun yang kelam terlalu berarti. Yang bahagia terlupakan, terselimuti benci' benar begitulah yang Jelita alami sekarang. Hidupnya bagai lembaran buku yang lebih banyak kenangan kelam yang berarti.

"Bu..."

"Saya mau mie."

Jelita tidak mencoba sedikit pun jamur saus tiram tersebut. Dia langsung menginginkan menu lain karena mood-nya benar-benar hancur sekarang.

"Mie? Mie apa, Bu?"

"Apa aja. Yang penting mie." Lalu Jelita memundurkan kursi makan, pergi dari sana tanpa ucapan apa-apa kembali. Tak peduli tatapan bingung dari Rustini.

The Wedding Dumb / TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang