Apa enaknya, sih hubungan yang serba memakai urat setiap membuka mulut? Segala hal menjadi rumit, tak sejalan dengan keinginan. Yang satu ingin memberi perhatian, malah disalah artikan. Yang satu berpikir selalu dimarahi, padahal inginnya disayang sendiri. Jika begini setiap hari, mereka terlihat begitu bodoh karena melibatkan Rustini setiap kali bertengkar.
Untung saja Rustini menjadi begitu pengertian karena tak mau lebih jauh lagi melihat kedua majikannya bertengkar begitu saja. Salah siapa memangnya jika hal begini terus menerus terjadi? Rustini jadi pihak yang disalahkan, padahal tak tahu apa-apa sama sekali. Masih dengan pertanyaan yang berada dibenaknya, Rustini meneruskan masakan yang sebelumnya kompor sudah dimatikan lebih dulu.
Tak tahu ke mana majikan prianya, Rustini mendengar langkah dari tangga. Siapa lagi kalau bukan majikan perempuannya.
"Bu," panggil Rustini.
Baginya, yang bertengkar majikannya maka Rustini tak mau ikut ke dalam perdebatan mereka. Maka dari itu dia senang memanggil majikannya jika melihat mereka, meski tak memiliki kepentingan secara langsung.
"Ya?" sahut Jelita dengan suara sengau. Habis menangis.
"Ibu mau ke mana? Makanannya udah mau jadi. Bapak tadi belum saya bawakan bekal."
Jelita tak mau peduli pada pernyataan yang berhubungan dengan nama Jeremy, apa pun bentuk panggilan lainnya. Namun, dia memang percaya bahwa hubungan barunya dengan Jeremy tidak akan berjalan baik jika mendiamkan suaminya.
"Gimana, Bu?"
"Saya coba telepon dulu, Mbak."
Mengalah untuk ingatannya akan kegiatan yang membuat hormon gairahnya yang berlebih teratasi. Coba aja kalo nggak ngerasain tadi! Jelita sibuk menyalahkan kesempatan yang terjadi. Sungguh tak etis sama sekali. Dia mau mengalah hanya agar hubungan suami istri mereka tetap jalan.
Begitu kembali ke kamar. Jelita menghubungi nomor Jeremy segera. Napasnya terasa lebih cepat habis belakangan. Lelah ketika harus naik turun tangga.
"Halo! Di mana?" tanya Jelita begitu sambungan telepon masuk.
"Siapa maksudnya?" balas Jeremy ketus.
Jelita menyabarkan diri. Meski besar sekali keinginannya untuk menjambak rambut dan menggunting bibir pria itu karena membalas dengan ketus.
"Kamu!"
"Oh." Terdengar Jeremy berdeham. "Saya berangkat ke lokasi meeting. Kenapa?"
Begitu disahut dengan nada seperti tak bersahabat lagi bagi telinga Jelita, perempuan itu tak bisa menahan keinginannya untuk protes.
"Tolong, ya, Jer. Kamu itu kalo ngomong sesuatu jangan ngegas. Orang, tuh bisa salah paham sama gaya bicara kamu!"
"Oh. Termasuk kamu, yang tadi salah paham karena aku nanya kenapa masak sendirian? Padahal aku ngasih bentuk peduli, malah kamu marahin."
"Ya salah kamu! Nada bicara kamu itu songong sama nyolot banget! Mana aku tahu bentuk kepeduliannya! Yang kedengeran itu nada marah kamu!"
"Ya itu memang kebiasaan aku—"
"Kok jadi aku kamu, sih?" potong Jelita menyadari penggunaan panggilan berbeda.
"Dari tadi juga gitu. Sewaktu di rumah."
Jelita menghela napas kesal. "Yaudahlah, terserah."
"Ya, jadi kenapa kamu hubungin saya?"
Jelita mengernyitkan dahi. "Kok balik saya lagi?"
"Ya ampun..." Jelita mendengar pria itu mendesah napas kasar. "... Jeliiiii. Kita, tuh bahas apa, sih ini? Kenapa berantem terus?"
"Kamu yang duluan!"
"Oke. Aku yang salah, memang dari awal aku yang salah! Puas?!"
Akhirnya Jelita yang kesal langsung mematikan sambungan. Tak ada pamit, tak ada yang Jelita teruskan karena kesalnya.
"Dasar manusia bodoh!" gerutu Jelita.
Dia akhirnya mengetikkan chat menanyakan apakah Jeremy mau diantarkan bekal oleh Rustini atau tidak.
Mendapatkan balasan dengan cepat yang di luar konteks pertanyaan, Jelita makin kesal.
Jery tikus : knp tlp nya dimatiin langsung gt?
Sangat tak jelas. Dengan cepat Jelita menyambungkan telepon lagi.
"Jeryyyyy!" teriaknya di sambungan telepon tak terbiasa memaki karena sekarang mulai menyadari kehamilannya, Jelita membentak saja di telepon. "Awas aja, ya! Aku bakal ke tempatmu bikin kamu malu karena ada perempuan hamil ke sana dan bawain bekal buat kamu!"
"Hei, hei, hei—"
Jelita segera mematikan panggilan lagi. Menuju dapur dengan inisiatif sendiri untuk menunjukkan bahwa dirinya bisa membuat Jeremy kelimpungan.
"Mbak Rus!" serunya.
"Iya, Bu? Gimana? Jadi bekalnya?"
"Jadi. Bikinin yang super pedes, ya. Tapi kalo bisa warnanya nggak kelihatan merah, pake cabe setan aja biar nggak kelihatan pedesnya. Saya mau anterin sendiri bekalnya."
Rustini membelalak. "Hah? Ibu mau ke tempat Pak Jeremy?"
"Iya!"
"Tap—"
"Yang ini, kamu nggak usah ikut. Saya mau ketemu Jeremy, kok. Sana bikinin yang level pedes!"
Jelita tak akan mengalah. Apa pun itu, dia akan memenangkan kompetisi ego ini. Pria itulah yang seharusnya menuntut maaf dari Jelita. Sebab semuanya tak ada yang salah jika Jelita buat. Jeremy-lah pelaku kesalahan. Lihat saja nanti, bagaimana Jelita akan membuat pria itu kelimpungan mencari akal di depan orang-orang pentingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding Dumb / Tamat
RomancePutri Jelita hanyalah seorang gadis biasa yang mengagumi Jeremy Dilon. Di malam petaka saat ia berniat meminta tanda tangan sang artis kenamaan, Jelita justru berakhir dengan di ranjang hotel bersama Jeremy. *** Jelita dan Jeremy menjadi dewasa sete...
Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi