Wattpad Original
Ada 7 bab gratis lagi

Bagian 3.3 ; Egois

39.2K 3.4K 195
                                    

Jelita tak menyesalinya. Justru dia merasa lebih lega dengan pelepasan yang akhirnya dirinya dapatkan. Sementara Jeremy malah sudah kembali mendengkur dengan keras. Pagi-pagi begini malah kembali tidur, setelah sesi percintaan mereka pula.

Mandi untuk kedua kalinya tak masalah bagi Jelita. Asal dirinya bersih dan bisa beraktivitas seperti biasa. Setidaknya, jika dirinya langsung mandi Rustini tak akan curiga menatap aroma yang menguar dari tubuh Jelita. Aroma yang bercampur dengan feromon Jeremy.

Melihat jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sepuluh, Jelita segera menuju ruang makan. Rustini pasti sudah menyiapkan sarapan untuk mereka. Jika wanita itu melihat Jeremy mandi di bawah tadi, sudah pasti Rustini akan bertanya-tanya kenapa mereka berdua lama sekali tak segera bersantap pagi.

"Kok baru turun, Bu?" tanya Rustini.

Seperti dugaan Jelita, asisten rumah tangga Jeremy itu memang sangat detil melihat segala sesuatunya. Sangat aneh jika Rustini tak bertanya dengan spontan.

"Iya. Baru selesai mandi," jawab Jelita singkat.

"Loh? Mandinya dari jam enam tadi, kok baru selesai, Bu?"

Duh, kadang nih orang bikin emosi!

Jelita baru merasakan bagaimana Jeremy begitu kesal pada Rustini yang seperti anak kecil saja bertanya ini dan itu. Tidak bisa menahan rasa penasarannya, padahal dia sudah terhitung memiliki usia dewasa.

"Iya. Memang saya mandinya lama."

Kening Rustini terlihat semakin mengerut. Tidak bisa dialihkan jika tidak dicoba oleh Jelita.

"Menu pagi ini apa, Mbak?" tanya Jelita sembari menarik kursi makan.

"Roti tawar panggang sosis, Bu."

Jelita tahu menu tersebut seperti anak kecil ketika akan berangkat sekolah. Piza mini ala rumahan yang menggunakan roti tawar dengan keju dan sosis meleleh di atasnya. Meski begitu, anehnya Jelita suka dengan menu tersebut.

Setelah menghabiskan satu piring sendiri, Rustini dibuat heran seketika.

"Ibu... lapar?" tanya Rustini dengan setengah terperangah.

"Mbak bikin banyak, nggak? Saya pengen lagi."

Rustini awalnya ingin mengatakan tak membuatnya banyak, tapi melihat binar di mata Jelita yang sedang hamil, Rustini segera bergerak membuatkan menu itu kembali agar Jelita tak kecewa.

"Rotinya jangan dipotong jadi empat, mbak!" protes Jelita begitu melihat Rustini sebelumnya memotong lembaran roti menjadi empat bagian.

"Terus gimana, Bu?"

"Satu lembar itu aja dijadiin, Mbak. Saya maunya ukuran yang besar."

Tidak heran, sih. Rustini begitu maklum karena kemarin Jelita malas makan, dan hanya makan mie instan saja. Setidaknya dengan menghabiskan menu sarapan pagi ini yang memang memenuhi dari segi gizi Rustini bisa tenang. Majikan lelakinya tak akan marah padanya jika tahu sang istri makan roti tawar panggang sosisnya.

"Iya, Bu," kata Rustini mengiyakan permintaan Jelita.

*

Bangun ketika adzan zuhur mulai berkumandang, Jeremy melihat sekeliling kamar dan tidak menemukan Jelita di sana.

"Ke mana dia?" gumam Jeremy.

Bangun dengan keadaan tubuh masih telanjang, Jeremy segera mandi untuk bertemu produser film yang memintanya membaca lebih dulu naskah yang akan dikerjakannya.

Usai membersihkan diri dan bersiap, Jeremy menuruni tangga dengan perut keroncongan. Begitu melihat dapur tak ada Rustini dan justru hanya ada Jelita, emosi pria itu naik.

"Ngapain kamu di dapur sendirian?!" kata Jeremy dengan nada keras. "Mana Rustini?! Kenapa kamu dibiarin sendirian di dapur! Udah tahu kamu lagi hamil, malah disuruh masak gini! Aku bayar dia bukan cuma enak-enakan aja!"

Jelita menatap lelah pada Jeremy yang hobinya marah saja.

"Kamu kenapa, sih? Lagi sensi?"

Jeremy sontak semakin kesal karena Jelita tidak paham bahwa sikapnya yang seperti ini karena mencemaskan diri perempuan itu ketika sendirian di dapur. Balasan Jelita justru sangat santai dan terkesan mengentengkan kepedulian Jeremy.

"Aku lagi melindungi kamu! Ngasih kamu perhatian supaya anak kita nggak kenapa-napa! Malah kamu bilang sensi! Dasar nggak peka!"

Jelita yang diberi ucapan seperti itu menjadi sangat sakit hati. Terlebih sensitifitasnya kian tinggi dengan kehamilannya.

"Kalo peduli itu nggak usah bentak-bentak! Lagian kamu itu kerjaannya marah-marah terus! Emang kamu doang yang peduli sama anak ini?! Aku juga! Jangan egois kamu dengan ngerasa semua yang kamu lakuin itu demi anak ini! Cuma aku aja yang bego dan nggak peduli! Seenaknya kamu marah dan bentak!"

Jeremy melongo dengan balasan Jelita. Jelas sekali perempuan itu salah paham dengan maksud Jeremy. Dia ingin menjaga Jelita dan anak mereka, bukan malah membuat mereka bertengkar seperti ini lagi.

"Maksud aku itu bener! Kamu yang diperhatiin malah ngatain orang. Gimana, sih?"

Perdebatan mereka kali ini justru menggunakan panggilan aku yang tak mereka sadari menjadi penjembatan komunikasi tak formal mereka. Namun, keduanya hanya fokus saja pada pertengkaran.

"Aku, kan cuma nanya! Kamu malah bentak nggak jelas!"

"Aku nanya mana Rustini, bukan bermaksud bentak kamu!"

"Alasan! Emang dasarnya kamu—"

"Pak, Bu... kok berantem?"

Rustini yang baru datang dari arah luar sembari membawa bungkusan dari mini market pun diberi tatapan nyalang kedua majikannya.

"Tanya, tuh sama majikannya, Mbak!"

Jeremy dan Rustini melihat kepergian Jelita dari dapur menuju kamar. Membiarkan suaminya dan Rustini berhadapan langsung.

"Pak...?"

Jeremy berdecak. Kesal merajainya. Setelah pagi tadi bisa berintim ria dengan Jelita, siangnya sudah kembali berdebat dan saling marah.

"Gara-gara kamu, sih, Rustini! Istri saya jadi marah ke saya!"

Lalu Jeremy ikut meninggalkan dapur serta Rustini yang kebingungan dengan tingkah kedua majikannya.

"Aku kenapa?" gumam Rustini.

The Wedding Dumb / TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang