Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

Bagian 4.1 ; Dendam

37.1K 3.2K 79
                                    

Sampe kapan, sih, hubungan ini parah begini!

Jelita mengeluh dalam hatinya sendiri. Dari banyak kemungkinan, Jelita tak pernah menyangka jika Jeremy akan menyatakan kebohongan yang sangat jauh dari kenyataan. Hidup mereka tak seharusnya dijadikan bahan lelucon, bukan? Tetapi Jeremy sudah sepatutnya melakukan itu. Melakukan skenario yang tidak Jelita tahu, bahwa akan sangat sakit sekali mendengarnya. Tak perlu berkata banyak, dia sudah menyadari bahwa pernyataan Jeremy tadi membuatnya sadar untuk tak memercayai sepenuhnya pria itu.

Pulang dengan wajah ditekuk, langsung masuk ke kamar dan tak membukakan pintu bagi siapa pun meski mereka mengetuk, Jelita menangis tanpa suara di dalam. Dia tak mau orang lain mendengar bahwa seculas apa pun dirinya suka membantah Jeremy, dia tetap wanita yang lemah dan suka menangis juga. Kakinya yang berniat dia tekuk nyatanya tak bisa, menyuguhkan fakta pada Jelita bahwa memang ada nyawa yang kini sedang dipertanggungjawabkan oleh Jeremy.

Ingin menyalahkan, tetapi dia juga terlibat akan adanya sang anak. Dalam pikiran Jelita yang sedang kusut, tak akan pernah ada kisah seperti ini dalam hidupnya jika saja dia tak menggilai Jeremy mulanya. Tak akan terjadi kisah di mana Jelita yang berniat membawakan makanan beserta kaus yang ingin dia coret dengan tanda tangan, terganti dengan coretan yang menoreh harga dirinya. Mengingat hal tersebut, Jelita menangis. Jeremy tak sesuai dengan pencitraan yang dibuat di luar sana. Jeremy juga tak sama baiknya seperti yang dulu gawangan pencinta pria itu serukan. Yang ada, Jeremy adalah setan!

"Bu... makan dulu. Saya sudah buatkan menu—"

"Saya nggak laper!"

Rustini mengelus dadanya karena terkejut mendengar bentakan istri dari majikannya. Sepulang dari mengantar makanan, Rustini memang mendapati Jelita yang tak bisa didekati. Wajahnya kentara suntuk dan tak suka dengan apa pun yang orang lain lakukan.

Kebingungan melanda Rustini, antara membiarkan Jelita mengurung diri di kamar atau memaksanya hingga mau makan dan keluar dari kandang. Sungguh dilema yang Rustini rasakan ini adalah bentuk paling tinggi. Sebab Jeremy akan memarahinya jika Jelita tak makan sedikit pun.

Opsi menelepon Jeremy menjadi menggiurkan, tetapi mengingat akan amarah yang akan diterimanya lebih dulu, Rustini enggan untuk melakukannya.

"Gimana ini?" gumam Rustini di balik pintu yang mana pemiliknya begitu tak memedulikan keresahan Rustini sama sekali.

"Ngapain di depan sini?"

Rustini langsung berjengit kaget. Dia tak mendengar suara mobil majikan prianya. Hingga tak memahami bahwa sebelum dia menelepon Jeremy pun, dia akan tetap mendapat serangan dari pria itu.

"Pa—pak. Itu... ibu... nggak mau keluar."

Kening Jeremy mengernyit. Tak mendapati keputusan apa yang harus dirinya lakukan, karena dia tahu kesalahan yang telah dirinya perbuat.

Mendapati sang majikan malah tertegun tanpa melayangkan protes, Rustini menggoyangkan lengan Jeremy. "Pak? Kok diem aja, Pak?"

Berdecak. Jeremy membalas, "Memangnya kamu mau saya ngapain? Salto?!"

Barulah Rustini dikenai sarkas dari mulutnya sang majikan. Dia sontak diam dan memundurkan langkah.

"Sana kamu urus pekerjaan lain!"

"Tapi ibu—"

"Biar saya yang urus. Udah sana!" usir Jeremy.

Sepeninggal Rustini, pria itu bersiap di depan pintu kamar. Napasnya berulang kali diembuskan. Rasa bersalah yang membumbung tinggi membuat kepalanya penuh. Berlama-lama di depan pintu tak mengubah apa yang sudah dirinya lakukan.

Tangannya sudah siap memegang kenop pintu. Namun, tarikan dari dalam lebih dulu mengejutkan pria itu. Tubuhnya agak terhuyung ke depan dan wajahnya berjarak tipis dengan Jelita.

Keduanya menahan napas sejenak. Melihat manik satu sama lain. Tanpa sadar bahwa tipisnya garis udara akan terkikis mudah jika dibiarkan saja.

Aroma dari Jeremy yang menguarlah yang membuat Jelita segera menutup mulutnya.

"Bau banget, sih! Dasar artis gadungan!" maki Jelita sekuat yang dia bisa.

Meninggalkan Jeremy yang membelalak tak terima. "Gadungan? Saya gadungan?!"

Jelita tak memedulikannya, dia tetap masuk ke dalam menuju kamar mandi dan menutup pintunya dengan keras di depan wajah Jeremy.

"Jelita! Hei! Buka pintunya! Jangan menghindar—"

"JANGAN BERISIK SIALAN! SAYA NGGAK MENGHINDAR! TAPI JIJIK SAMA PENGECUT KAYAK KAMU!"

The Wedding Dumb / TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang