Memi menatap tak enak hati pada Jelita yang kini duduk di antara dirinya dan Jeremy. Sengaja Jelita dibawa untuk mengetahui rencana ke depannya yang akan dilakukan untuk settingan agar Jeremy tak terjerat skandal. Meski mereka bertiga tahu bahwa tindakan tersebut tak akan benar-benar berhasil jika Jelita sendiri tak menginginkan hal semacam itu terjadi.
"Jadi, gini, Jelita. Kamu akan dipasangkan dengan seseorang—"
"Saya mau lelaki pilihan saya sendiri," potong Jelita tiba-tiba.
Jeremy dan Memi saling bertatapan. Keduanya merasa aneh dengan keinginan Jelita yang terhitung terburu-buru. Bukan maksud keduanya untuk memasangkan Jelita dengan lelaki sembarangan, tapi sudah pasti yang bisa membuat rencana ini berjalan dengan baik.
"Maksudnya gimana? Siapa lelaki pilihan kamu itu?" tanya Jeremy cepat. Radar tak sukanya muncul karena Jelita memberikan kalimat akan memilih lelaki pilihannya sendiri.
Dalam hati Jeremy mendengkus tak suka. Lelaki pilihan sendiri? Apaan?!
"Jadi, saya mau lelaki pilihanku sendiri buat rencana ini. Saya nggak mau orang baru yang malah bikin canggung. Bagus, kan? Kalo udah kenal, apalagi deket, rencana ini lebih meyakinkan. Saya nggak salah menganjurkan rencana ini."
Tak salah memang. Namun, Jeremy mendadak panas dengan ide lelaki yang dekat dengan Jelita. Jika sudah kenal dan bahkan dekat, maka tak menutup kemungkinan jika Jelita akan memanfaatkan hal tersebut untuk pergi-pergi bersama lelaki yang dekat dengan perempuan itu.
"Nggak, nggak!" tolak Jeremy. "Gue nggak suka gagasan kayak gitu, Mem! Nggak bisa! Kita lanjutin ide awal—"
"Jangan egois, dong! Ini awalnya juga terjadi karena ulah mulut culasmu itu! Jangan nolak-nolak gitulah! Ideku juga bener, kok. Kalo orang asing, yang ada malah canggung!" balas Jelita memulai pertengkaran mereka.
"Hei! Ide kamu itu justru membuat cerita baru yang nggak seharusnya. Kamu mau nyuruh mantan pacarmu, kan? Kamu pengen bergerak untuk deket sama lelaki yang bukan suamimu!"
Jelita berdiri dari tempat duduknya. Menunjuk wajah Jeremy karena begitu kesalnya. "Jangan sembarangan kalo ngomong! Kalo kamu mau bahas mantan, harusnya kamu ngaca! Tanya sama dirimu sendiri, berapa mantan yang kamu bawa ke tempat tidur saking biasa banget nidurin cewek!"
Jeremy yang tak mau kalah ikut berdiri. Ukuran tingginya yang lebih dari Jelita membuat pria itu menjadi lebih unggul.
"Jangan bahas mantan yang aku tidurin. Kamu nggak perlu bahas itu! Yang harusnya kita bahas itu keinginan kamu—"
"STOOOPPPP!!!" teriak Memi. Pasangan itu pun menoleh dan terdiam. "Kalian, tuh bikin kepala gue pusing! Kalo tiap hari kerjaan kalian berantem gini, nggak menutup kemungkinan orang bakal curiga sama pembahasan kalian pas berantem! Kalian, tuh kelihatan pasangan banget kalo kayak gini."
"NGGAK!" sahut keduanya bersamaan. Menyangkal jika mereka memang begitu serasi dan terlihat bagai pasangan karena bertengkar dengan intensitas pembahasan seperti pasangan di luar sana.
"Oke. Yaudah, kalo bukan pasangan jangan berantem terus! Orang bisa curiga!" balas Memi dengan rasa kesal yang menyerbu akibat melihat keduanya. "Duduk!" suruh Memi begitu keduanya memilih membuang muka satu sama lain.
Memi yang melihatnya menjadi lelah sendiri. Sudah bersikap seperti pasangan yang begitu serasi dan suka bertengkar masih saja begitu menyangkal.
"Menurut gue, bener idenya Jelita. Kalo mantan suami dan istri canggung kayak orang baru kenal bakalan aneh. Harusnya memang yang udah kenal dan deket."
"Nggak gitu, dong, Mem! Kalo terlalu deket bukannya aneh? Mereka, kan mantan. Kenapa bisa akrab?" Masih tak terima dengan ide Jelita, dia membentuk protes sampai Memi mendukung idenya.
Menghela napas, Memi menjawab. "Apa yang aneh dengan akrab sama mantan suami? Toh Jelita lagi hamil. Itu jadi faktor besar buat mereka deket demi anak mereka. Ide ini bagus, kok. Kalo bisa kita segera hubungin nomor kenalanmu itu, Jel."
Senyum Jelita langsung merekah mendapat tawaran untuk menelepon seseorang yang dia kenal untuk berpura-pura. "Bisa, Mbak. Akan segera saya hubungi. Sekarang kalo perlu!"
Memi melebarkan senyuman juga, karena akhirnya rencana mereka akan segera terealisasi.
"Bagus kalo gitu. Ya, kan, Jer?" tanya Memi. Namun, yang Memi dapatkan justru wajah tak suka dari Jeremy. Lekat, dan keruh. "Kenapa, sih? Bener, kan omongan gue?"
Jelita melirik setengah hati. Memang wajah Jeremy kentara sekali keruhnya. Jelita semakin senang karena rencananya berhasil. Setidaknya Jeremy akan menyesali sikapnya yang dengan pengecutnya tak mengakui dirinya sebagai istri. Setelah ini, Jelita akan membuat Jeremy semakin kesal karena rencananya untuk tak menganggap pria itu seperti suami. Jelita akan bersikap masa bodo pada pria itu.
"Yaudahlah, biarin aja si Jeremy. Gimana soal pasanganmu? Siapa namanya?"
Jelita menjawab dengan semangat. "Farguh Halim."
"Apa?!"
Lihat aja, Jer. Kamu bakalan nyesel lakuin ini ke aku dan anakmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding Dumb / Tamat
RomancePutri Jelita hanyalah seorang gadis biasa yang mengagumi Jeremy Dilon. Di malam petaka saat ia berniat meminta tanda tangan sang artis kenamaan, Jelita justru berakhir dengan di ranjang hotel bersama Jeremy. *** Jelita dan Jeremy menjadi dewasa sete...
Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi