"Jer dipanggil Memi!" seru salah satu orang yang biasa menjadi babu Memi itu.
Dengan mengumpat pelan, Jeremy menimpali. "Ngapain? Gue nggak niat masuk ke sana lagi!"
"Si Memi bilang ada yang nangis."
Apa urusannya ada yang nangis sama gue?
"Bilangin, deh. Gue bukan pawang nangis."
Lelaki bernama Gatar itu menghela napas dalam. "Kayaknya, sih adek lo yang nangis. Memi jadi panik. Takut diomelin sama lo kali," celetuk Gatar akhirnya. "Gue masuk dulu deh, lo yang anteng semedi di sini."
Ya, mau mengatakan apa lagi memangnya? Jika artis yang sangat rumit permintaannya itu tak mau dipanggil masuk ke dalam guna melihat keadaan siapa yang menangis, Gatar tak akan memaksa. Sebab yang ada nantinya malah dia yang terkena semprot oleh seorang Jeremy Dilon.
Saat Gatar baru beberapa langkah kembali masuk ke dalam gedung, Jeremy segera menyusul. Dia tak berkata apa pun, tetapi terlihat ikut cemas setelah mendengar ucapan Gatar. Satu-satunya yang para kru ketahui perempuan yang menjadi adiknya sudah pasti Jelita. Meski kesal dan marahnya berasal dari perempuan itu, Jeremy tetap ingin mengetahui apa penyebab dari tangisan Jelita.
Semakin dekat dengan ruangan mereka bertiga rapat. Jeremy bisa mendengar jelas suara tangisan yang begitu pilu. Seperti sangat bersusah payah menahan tapi tak bisa. Yang keluar justru semakin besar dan kencang.
Membuka pintu, Jeremy mendapati wajah Jelita yang masam dan kusut dengan air mata bercampur cairan dari hidungnya. "Kenapa? Kok malah nangis begini?"
Memi meringis tak mengerti. Dia layangkan pandangan pada Jelita yang tak bisa menahan diri untuk berhenti. Kedua orang itu menatap Jelita yang masih khusyuk sesenggukan tanpa alasan jelas yang dikemukakan.
"Kayaknya faktor hormon," bisik Memi pada Jeremy yang berada di sampingnya. Sedang Jelita masih tergugu di sofa tempatnya duduk sejak kedatangannya ke tempat tersebut.
Jeremy yang tak tahan akhirnya mendekati Jelita, bersimpuh di depan perempuan yang perutnya semakin kelihatan. "Kenapa? Ada yang sakit?" tanya pria itu baik-baik.
Memi yang menyaksikannya menjadi tak percaya seketika. Beneran si Jeremy Dilon? Baik bener?
"Jer... Jer..." ucap Jelita dengan tersendat-sendat.
"Iya, gimana? Saya di sini," balas Jeremy seraya menggenggam tangan Jelita yang sebelumnya memaksa mengusap wajah dengan cara yang kasar. "Mem, ambilin tisu buat Jeli."
Memi tak bisa mencibir pasangan itu sekarang, karena dia harus merahasiakan hal ini dari kebanyakan karyawan yang julid dan tidak segan membagi fakta untuk menjadi bahan gosip. Memi lakukan apa yang Jeremy minta, dirinya begitu diam dan menurut karena intensitas pasangan di depannya terlihat bak film romansa.
"Jangan diusap pake tangan keras-keras gitu. Pake tisu," kata Jeremy.
Seolah belum cukup membuat Memi terkejut dengan sikap pasangan aneh itu. Memi dibuat melongo ketika Jeremy mengusap wajah serta hidung istrinya. Ya, walaupun tak ada yang aneh jika menyangkut suami dan istri, tetapi pengecualian bagi Jeremy dan Jelita.
"Jangan nangis kenceng gitu. Bayinya pasti ikut stres. Bilang aja kalo ada yang sakit, jangan ditahan."
Batin Memi meraung dengan keras, duh Jeremy... coba kalo baik begini terus. Siapa aja juga jatuh hati sama lo. Sebab tak memungkiri dengan tampang rupawan Jeremy, hanya saja banyak penilaian minus untuk pria itu karena sikapnya yang suka semena-mena dan suka berkata kasar nan culas pada orang lain.
"Jer... sesak," kata Jelita.
Oh, tentu saja Jeremy langsung panik. Dia berdiri dan membawa Jelita dalam gendongan. Dia tak memedulikan siapa saja yang melihat dan panggilan Memi padanya. Yang pria itu pedulikan adalah untuk segera membawa ibu dari anaknya menuju rumah sakit.
*
Jelita direbahkan dengan perlahan, seperti benda yang begitu takut untuk dirusak. Lalu dia menatap dokter yang bukan menjadi langganannya. Dipejamkan matanya guna mendengarkan saja pembicaraan sang dokter dengan sang suami.
"Tidak ada gejala serius apa pun, Pak Jeremy. Ibu Jelita mungkin mengeluh sesak karena menangis cukup lama dan keras. Lemas yang dirasa juga wajar karena semakin besar kandungannya, semakin banyak ruang gerak yang sedikit saja dilakukan bisa menyebabkan kelelahan pada si ibu. Vitamin dari dokter rutinnya jangan lupa diminum, lebih diperhatikan juga kegiatan si ibu. Beri perhatian yang cukup, karena saat hamil, bukan hanya emosi si ibu yang harus dijaga tetapi juga bayi dalam kandungannya. Kalo ibu Jelita selalu menangis karena merasa banyak tekanan, itu berarti bapak Jeremy harus lebih banyak memberikan perhatian dan menanyakan apa yang ibu Jelita mau."
Jelita memilih memejamkan mata sembari mendengarkan. Sedang Jeremy membalas, "Dia bahkan nggak mau jawab tadinya. Saya harus tanya berulang kali kenapa, Dokter."
"Iya. Saya paham. Kalo begitu coba pikir saja bahwa momen kehamilan ibu Jelita ini adalah momen untuk bisa saling lebih sayang dan perhatian. Bisa jadi itu bentuk protes si bayi yang ingin diperhatikan oleh papanya. Makanya membuat ibunya lemas dan masuk rumah sakit," kata dokter Prima dengan senyuman.
Jelita masih bisa mendengar banyak pertanyaan Jeremy dalam pejaman matanya yang disengaja. Namun, dia mendapatkan satu benang merah dalam pembicaraan itu. Bahwa bayinya menginginkan perhatian, bukannya ikut merasa tertekan dengan pertengkaran kedua orang tuanya yang hampir terjadi setiap hari.
Begitu suara permisi dari dokter menggema, Jelita bisa mendengar derit kursi yang digeser mendekat dengan ranjangnya. Hawa tubuh Jeremy juga semakin dekat. Seluruh tubuh Jelita meremang seketika begitu telinganya mendengar kalimat tak biasa Jeremy.
"Apa kita harus berhenti saling membenci, Jeli? Karena sepertinya aku nggak suka melihat kamu lemas tanpa menatapku begini."
Ada apa dengan Jeremy?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding Dumb / Tamat
RomancePutri Jelita hanyalah seorang gadis biasa yang mengagumi Jeremy Dilon. Di malam petaka saat ia berniat meminta tanda tangan sang artis kenamaan, Jelita justru berakhir dengan di ranjang hotel bersama Jeremy. *** Jelita dan Jeremy menjadi dewasa sete...
Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir