Prolog

36.7K 1.6K 127
                                    

Prolog

Happy reading...

❄❄❄

Hujan turun disertai kilat, beberapa kali suara petir datang memecahkan telinga. Langit tak secerah biasanya, ia seperti menumpahkan segala amarah yang sejak lama terpendam.

Di suatu ruangan tertutup, sebut saja ruangan direktur utama SMA Aderald, tampak seorang wanita paruh baya tengah berdiri tegak sambil berpangku tangan. Tatapan matanya begitu fokus melihat laki-laki berpakaian seragam SMA Aderald yang ada di depannya.

Laki-laki berperawakan tinggi, dengan rambut berponi yang terlihat tidak sisiran dan terkesan berantakan itu, sejak tadi bersenandung dalam hati, matanya tak pernah membalas tatapan sang Ibu yang begitu fokus melihatnya.

"Reihan, kamu dengar Mama tidak?" Tanya Marni dengan lantang.

Reihan masih tidak menghiraukannya, bahkan sang ibu tampaknya dianggap tidak ada. Perkataan sang Ibu yang panjang lebar, hanya dianggap kicauan, siulan dan tepuk tangan belaka. Tak ada artinya.

"Reihan!!! Kenapa kamu seperti ini terus, dari dulu sampai sekarang tidak ada perubahan. Coba lihat Kakak kamu, dia tidak pernah bermasalah seperti kamu, sekolahnya rajin, nilainya bagus, prestasinya bagus. Tapi, lihat kamu? Kamu hidup tidak ada gunanya!" Marni berbicara dengan penuh penekanan, setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar sangat jelas. Bahkan Reihan sendiri mampu mendengar itu, namun dia masih tetap memilih acuh, tak peduli.

Napas Marni sampai terengah-engah setelah sejak tadi terus mengomel Reihan tiada henti. Per sekian detik kemudian, akhirnya Reihan mau menatap sang Ibu.

"Udah beres?"

Pertanyaan Reihan membuat Marni semakin murka padanya, ia membelalakkan matanya. "Kalau udah beres, Reihan pergi," lanjutnya, tanpa menunggu jawaban dari sang Ibu, Reihan pergi begitu saja dari ruangan direktur ini.

Marni dibuat semakin emosi oleh Reihan, ia mengepalkan kedua tangannya, geram.

Reihan tak peduli bagaimana reaksi sang Ibu dengan kepergiannya, yang jelas dia sudah sangat bosan mendengar ceramah ibunya, yang ujung-ujungnya selalu membanding-bandingkan dia dengan kakaknya. Tentu beda, Rendi ya Rendi dengan segala ketekunan dan ketaatannya pada sang ibu. Kakaknya sudah seperti robot bagi Reihan, jelas saja Reihan tidak mau hidup seperti itu.

Reihan tidak mau jika seluruh hidupnya harus mengikuti kemauan sang Ibu. Lihatlah! Kakaknya saja sampai tidak memiliki teman satupun, dia terlalu bekerja keras demi mewujudkan kemauan Ibunya. Sungguh hidup di bawah tekanan sangat menyiksa.

Berbeda dengan Reihan, dia ingin hidup bebas, karena sekarang bukan lagi zaman penjajahan, Indonesia sudah merdeka tentu ia pun harus merasakan kemerdekaan itu.

Di tengah hujan yang belum reda, Reihan berjalan menuju kantin untuk menghampiri dua sahabatnya yang sudah berada di sana sejak tadi. Riko dan Raka teman sekelas Reihan dari SD. Mereka selalu bersama, Reihan dianggap sebagai ketua, karena ia paling kaya dan paling berkarisma diantara mereka.

"Gimana Jang, lancar konsernya?" Tanya Raka.

Jang menurut kamus besar bahasa Sunda Akang Raka, Jang berasal  dari  kata Ujang, orang Sunda memakai kata Ujang untuk memanggil pemuda dan kebetulan Raka asli Sunda, jika berbicara dia selalu mencampur adukkan antara bahasa Indonesia dan Sunda. 

Reihan sendiri sudah terbiasa dengan panggilan itu dan tidak mempermasalahkannya, kini ia duduk di tengah Riko dan Raka.

"Lancar banget, gue sampai selesai dua album tadi," jawab Reihan sambil merebut minuman Riko kemudian menyeruputnya.

Dear ClassmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang