19. Trauma

6.6K 889 40
                                    

19. Trauma

***

Reihan mulai menjalankan mobilnya setelah Raka dan Riko masuk ke dalam, cukup lama tadi ia menunggu keduanya, hingga Reila pergi duluan dengan sepedanya, entah sudah sampai mana.

Kembali suasana terasa canggung, Raka dan Riko diam ketika ada Dara, tak seperti biasanya. Reihan pun malah menyetir sambil melamun, memikirkan apa yang Reila pikirkan tentangnya setelah kejadian di parkiran tadi.

Tanpa sengaja, Raka melihat Reila sedang mengayuh sepedanya di sisi jalan. “Itu si Reila,” ujar Raka spontan dengan suara yang keras.

“Mana-mana?” Reihan langsung menyahut dengan antusias sambil melihat-lihat ke jalan, seketika semua yang ada di mobil terdiam. Kaget melihat Reihan yang sangat cepat merespon.

Reihan baru menyadari kalau dia terlalu over, ia khawatir menuai kecurigaan dari teman-temannya dan Dara. Ia lihat ke arah teman-temannya juga ke arah Dara, mereka tampak bingung melihat ekpresi over Reihan tadi.

“Reila siapa?” tanya Dara bingung.

Dalam beberapa detik Reihan seakan mati gaya, ia tak mampu menjawab, pasti teman-temannya semakin mencurigainya sekarang.

“Dia temen sekelas kita, sekaligus temen kelompok,” jawab Raka mewakili Reihan yang tampak panik, dan tak bisa berkutik.

“Oooh…” Dara berucap pelan. Dara tampaknya cukup penasaran, karena Reihan begitu cepat merespon ketika nama Reila disebut.

Raka bisa membaca rasa penasaran Dara itu, sementara Reihan tetap kurang peka dan malah fokus menyetir, tak mau terlibat lagi dalam pertanyaan tentang Reila.

“Selain teman kelompok, Reila juga paling pinter di kelas, rata-rata nilai UTS nya aja kemarin 95,” lanjut Raka, mencoba menjelaskan, agar Dara tak mencurigai Reihan. Raka hanya bermaksud menghargai perasaan Dara, tak lebih dari itu.

“Oh… aku baru tahu, kayaknya dia kurang terkenal ya,” ujar Dara sambil sedikit melirik Reihan, menunggu Reihan bersuara.

“Iya, dia kurang terkenal karena dia bukan artis hehe.” Dara sedikit tersenyum mendengar candaan Raka, meski terkesan terpaksa.

Selesai mengantar Dara dan kedua sahabatnya, akhirnya Reihan bisa beristirahat sejenak di kamarnya, namun langkahnya ke kamar terhenti karena dihadang oleh sang Ibu.

“Reihan,” panggilnya. Marni duduk di atas sofa sementara di meja yang ada di depannya penuh dengan berkas hasil UTS Reihan. Reihan  menoleh ke arah sang Ibu, meskipun malas.

“Lihat hasil UTS kamu, hancur semua!” ujar sang Ibu. Belum apa-apa Marni sudah bernada tinggi.

Reihan hanya diam, dia belajar dari pengalaman, membantah atau melawan ibunya hanya akan memperpanjang ceramah sang Ibu, jadi dia memilih mematung.

“Sampai kapan kamu akan terus mempermalukan Mama, heh?” Reihan tetap memilih tak bersuara. “Contohlah Kakak kamu, dia selalu berprestasi, nggak pernah bikin Mama malu, justru selalu membuat Mama bangga. Tapi kamu?” Napas Marni terengah, karena sangking emosinya, ia atur dulu pernapasannya agar bisa kembali berbicara dengan jelas. “Kamu selalu merusak hidup Mama!”

Ini bukan pertama kalinya Reihan mendengar kata-kata sadis dari mulut ibunya, sudah sering. Hati Reihan tidak sakit? Tentu saja sakit, dari kecil dia menahan rasa sakitnya itu senditi, tak ada yang mengerti.

Reihan benar-benar merasa seperti sampah, ibunya terus menghujat dia tak berguna, hingga lama-lama otak Reihan bisa mengiyakan itu dan Reihan merasa hidupnya benar-benar tidak berguna.

Dear ClassmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang