10. Di Balik Kepala Sekolah
"Raihlah cita-cita kamu, jangan kamu rusak masa depan kamu. Bayangkanlah jika suatu saat nanti, kamu bisa membanggakan orang-orang yang kamu sayangi."
***
Hening seketika, Reihan tidak tahu harus berkata apa, dia belum bisa mendengarkan ceramah dikala tubuhnya sedang sakit dan kepalanya pusing. Rambo pun tidak berniat menceramahi Reihan panjang lebar. Reihan sangat keras, untuk meluluhkan hati orang yang keras, dibutuhkan kelembutan, seperti api yang takluk oleh air.
Rambo mengangkat jemarinya, kemudian ia membelai pucuk kepala Reihan lembut. Reihan terbelalak mendapatkan perlakuan seperti ini dari Rambo.
"Kamu masih muda, Rei. Masa depan kamu masih panjang, raihlah cita-cita kamu. Jangan kamu rusak masa depan kamu. Bayangkanlah jika suatu saat nanti, kamu bisa membanggakan orang-orang yang kamu sayangi, membahagiakan mereka. Bukankah itu lebih berarti daripada kamu hidup tidak karuan. Tidak ada target hidup yang ingin kamu capai, tidak puya tujuan hidup, hidup kamu akan sia-sia kalau begitu terus," ujar Rambo.
Reihan masih bergeming, perlakuan Rambo mengingatkan Reihan pada Almarhum ayahnya yang sangat ia rindukan. Reihan menunduk, mengingat setiap kata yang pernah terucap dari mulut ayahnya dulu.
Ayahnya ingin agar Reihan menjadi orang yang sukses, bahkan lebih sukses dari ayahnya, tapi kini ia malah menjadi orang yang tidak berguna, tidak tahu arah dan tujuan. Tak punya semangat hidup. Kalau ayahnya masih hidup, pasti ayahnya sedih melihat Reihan yang sekarang.
Rambo terus mengusap kepala Reihan, membuat Reihan merasakan kehadiran ayahnya sekarang.
"Pa..." Reihan berucap lirih.
Rambo mengernyit mendengar suara Reihan mengucap kata 'Pa?' Ia berhenti mengusap kepala Reihan, wajahnya mencoba melihat wajah Reihan yang tertunduk. "Apa?" Rambo bertanya memastikan bahwa pendengarannya tidaklah salah.
Reihan tersadar, ayahnya sudah tidak ada dan tidak mungkin ada di sini. Ia mendongakkan kepalanya, hingga matanya dengan mata Rambo sempat bertemu hanya sebentar, karena Reihan segera mengalihkannya.
Walau sekejap, tapi Rambo bisa melihat mata Reihan berkaca-kaca, seperti ada kesedihan yang mendalam dan beban yang ia tanggung sendiri.
Reihan berdiri, seolah tak mau meneruskan percakapannya dengan Rambo, karena ia terbawa sedih. "Dimana kunci mobil saya?" tanya Reihan mengalihkan pembicaraan.
Rambo berdiri mengikuti Reihan. "Mau kemana kamu?"
"Ya mau pulang lah, terus mau kemana."
Rambo menghampiri Reihan yang membelakanginya, kemudian merangkulnya. "Ini masih pagi, udah makan dulu di sini saja."
***
Reihan terpaksa menuruti permintaan Rambo, kini ia sudah duduk di ruang makan rumah Reila bersama keluarga Reila lainnya. Mereka duduk melingkar di lantai yang hanya dialasi tikar. Sudah banyak jamuan di tengah-tengah mereka. Semuanya Reila yang memasak, karena Reila menjadi satu-satunya perempuan di keluarganya.
Menu yang Reila hidangkan sangat sederhana, keluarga Reila memang menyukai makanan rumahan dibanding fast food. Sambel adalah menu yang wajib, tahu tempe, lalab dan ikan gurame. Reila lebih menyukai ikan dibanding daging ayam.
Reihan melongo melihat menu yang ada di depannya ini, jauh berbeda dengan menu di rumahnya. Rambo mengambilkan piring untuk Reihan, hingga menuangkan nasi berserta lauk pauknya.
"Nih makan yang banyak, jangan malu-malu! Masakan anak Abah mah selalu enak," ujar Rambo sambil menyodorkan pirinya pada Reihan.
Reihan menerimanya dengan ragu, bukan dia tidak suka menunya, Reihan pun sering makan dimana saja, bahkan di pinggir jalan sekalipun. Reihan hanya tidak terbiasa berkumpul bersama keluarga Reila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Classmate
Teen FictionOn going {Teenfiction~spiritual} Kelas 12 adalah kelas dimana anak SMA harus belajar sungguh-sungguh demi lulus sekolah. Menjadi sangat sibuk, kuis hampir tiap hari, melelahkan bukan? Bagaimana jadinya jika saat kamu kelas 12, kamu mendapatkan banya...