***
Kafie mengendarai motor dengan hati-hati. Ia tak mau mengusik Arum yang sedang tenang tenggelam di punggungnya. Membiarkan detik demi detik terlewati tanpa dialog. Sebab Kafie tahu persis, saat ini Arum hanya memerlukan keberadaannya, pelukannya, dan tatapan meyakinkan bahwa Ia takkan membiarkan sahabat kesayangannya mati dalam bayang-bayang masa lalu.
Motor Kafie menderum memasuki gerbang rumah Arum. Ia memberhentikan motornya tepat di depan teras. Tidak beranjak, hanya mematikan mesin motornya.
Kafie tetap diam. Masih membiarkan Arum tenggelam dalam punggungnya. Tidak keberatan meski posisi seperti ini akan berlangsung selama berjam-jam. Yang terpenting, Arum merasa nyaman.
Disentuhnya punggung tangan Arum yang masih melingkar apik di pinggangnya. Perlahan Ia mengusap punggung tangan Arum dengan lembut.
Hal tersebut membuat Arum merasa hangat.Arum mengeratkan pelukannya. Seolah tak ingin Kafie pergi walau hanya satu centi.
"Fie.." suaranya hampir tak terdengar.
"Hem?" Balas Kafie untuk memastikan bahwa Arum memanggil namanya.
Hening.
Kafie kembali mengelus tangan Arum. Mungkin salah dengar, pikirnya.
"Kafie.." Panggil Arum lagi. Kali ini, suaranya lebih jelas.
"Apa sayang?" Tanya Kafie dengan suara lembut.
"Jangan marah ya.." Arum memeluknya lebih erat.
"Memangnya pernah Kafie marah sama Arum?" Kafie terkekeh. "Memangnya kenapa? Ada apa?" Tambahnya.
Hening sejenak. Arum menghela napas.
"Kalau aku mau susul Papa, boleh ngga?" Ucap Arum ragu. Takut-takut Kafie akan marah dengan pertanyaan konyolnya.
"Boleh." Kafie menjawab singkat.
Arum sedikit heran. Itu memang jawaban yang Ia harapkan, namun Ia justru tak ingin mendengar jawaban tersebut keluar dari mulut Kafie. Smh, dasar wanita. Sukanya membingungkan.
"Kalau gitu aku mau susul Papa.." Arum melepaskan pelukannya. Lalu Ia turun dari motor dan berjalan masuk ke dalam rumah.
Kafie bergegas mengikuti Arum.
"Bentar dulu." Tangan Kafie menahan lengan Arum. "Mau kemana coba, hm?"
"Susul Papa.." Jawabnya pelan.
"Gak sekarang, nanti. Udah ya.. Sekarang mending kamu ganti baju terus nanti kita ke rumah aku buat ngerjain tugas dari Pak Robi. Oke?" Kafie mencolek hidung Arum. Ia mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
Arum terdiam. Mata sendunya menatap Kafie. "Nanti kapan?"
"Nanti, sayang. Kalau udah dipanggil Tuhan, kalau udah disuruh pulang. Sekarang belum. Jadi jangan sekarang." Ucap Kafie seraya memegang tas yang menggantung di punggung Arum.
Arum terdiam membiarkan Kafie melepaskan tas dipunggungnya. Ini jawaban yang ingin Ia dengar. Jawaban yang mampu meniup kekhawatirannya.
"Fie.." Ia menggenggam tangan Kafie. Menatapnya lekat-lekat.
"Apaaa?" Kafie mengeratkan genggamannya. Balas menatap Arum.
"Aku kangen Papa.. Mau peluk Papa.." Bukan, ada tujuan dibalik lontaran kalimat ini. Tidak sesederhana bentuknya.
"Iya, nanti. Ada waktunya kok.. Kalau sekarang kasihan tante Ratna, kan?"
"Hhh.." Lagi-lagi, Arum kurang puas dengan jawabannya. Ia menghembuskan napas pasrah.
"Eh iya, jadi keingetan.. Tante Ratna mana?" Matanya menyapu seluruh ruangan.
"Mama bilang hari ini ada rapat tiga kali, beda tempat. Jadi tadi pagi bilangnya mau pulang malem.."
"Oh yaudah kalau gitu ngerjain tugasnya disini aja. Sekalian aku nemenin kamu sampai tante Ratna pulang. Udah sana ganti baju.. Masa mau digantiin?" Ia tersenyum jahil.
Arum terkekeh. "Malas ke kamar.."
"Aish.." Kafie melepaskan genggamannya lalu berjongkok menyuguhkan punggungnya pada Arum. "Ayo, digendong sampai kamar."
Arum tersenyum, bersemangat menaiki punggung Kafie. Dengan senang hati Kafie menggendong Arum menuju kamarnya. Menapaki satu-persatu anak tangga dengan hati-hati.
"Ojek gendong." Ledek Arum.
"Iya, namanya Go-Fie." Canda Kafie.
"Kasihan nanti tulangnya jadi patah kalau keseringan ngegendong, haha. Keropos kayak kakek-kakek.."
"Enggak akan. Orang yang digendong seringan ini. Yang ada gak terasa lagi ngegendong."
"Kan ada penumpang lain."
"Mana ada penumpang lain? Cuma kamu aja. Langganan. Penumpang setia."
"Hehehe.."
"Arum jadi ringan banget ih. Gak suka." Kafie mengerucutkan bibirnya.
"Bodygoals.." Sanggah Arum.
"Goals apanya? Tulang sama kulit aja dibilang goals. Enggak empuk." Arum memang sedang kehilangan napsu makannya belakangan ini.
"Yang penting enggak gendut.."
"Yang penting itu sehat, bukan gak gendut."
"Tapi kan ini juga sehat.."
"Sehat apanya? Badan kayak kertas mana ada sehat."
"Yaudah sih, Fie. Udah gini mau gimana lagi.. Yang penting tetep cantik." Kafie memutar knop pintu, mendorongnya, lalu masuk ke dalam kamar.
"Cantikkan kalau enggak kurus. Pokoknya nanti aku mau ajakin kamu makan terus biar empuk lagi." Arum turun perlahan.
"Hem, terserah.. Aku mau mandi dulu. Kamu juga mandi gih.." Arum mengeluarkan smartphone di dalam sakunya lalu menyimpannya di atas laci.
"Baju-baju aku yang disini masih ada, kan?"
"Ada lah, masa dibuang. Semua di lemari kamar bawah."
"Oke. Aku ke bawah dulu yaa." Kafie menepuk-nepuk pelan puncak kepala Arum.
Arum mengangguk. Ia menatap punggung Kafie yang sudah hilang ditelan pintu. Perlahan tersungging senyum manis di bibirnya.
"Malaikatku." Gumamnya.
Kemudia melangkah masuk kamar mandi untuk membersihkan diri.
Air hangat yang menghujani permukaan kulitnya membuat Ia tenang. Arum menyukai kehangatan. Kehangatan dapat membawanya pada ketenangan. Itulah mengapa Ia selalu merasa tenang saat bersama Kafie. Karena Kafie mampu membuatnya hangat.
Matanya terpejam menikmati setiap tetes air yang menyentuh kulitnya.
***
Kafie melirik jam yang tergantung di ruang tengah. Ia sudah selesai mandi lima belas menit yang lalu. Namun Arum masih berada di kamar mandi.
"Kayaknya masih setengah jam lagi dia selesai.." Kafie mengetahui kebiasaan Arum. Saat suasana hati Arum tidak begitu baik, Ia pasti berlama-lama di kamar mandi. "Buatin makan ahh." Ia berdiri lalu berjalan menuju dapur.
Kafie sudah terbiasa memasak. Penyebab Ia belajar masak adalah Arum. Awalnya, Kafie ingin memberi kejutan kecil pada Arum di hari ulang tahunnya yang ke-8. Ia membuat cupcake untuk Arum. Sejak saat itu Ia berpikir bahwa memasak adalah kegiatan yang menyenangkan. Jadilah memasak sebagai hobinya.
Tangan Kafie cekatan menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Ia sibuk memasak sampai tidak menyadari kehadiran Arum yang telah menyelesaikan urusannya dengan kamar mandi.
Gadis itu menarik punggung kursi dan duduk dengan tenang. Ia menopang kepalanya kemudian tersenyum meperhatikan Kafie yang begitu serius memasak."Chef Kafie." Arum bergumam lalu terkekeh pelan.
Sabar amat si Kafie :(
Makasilo gais udah baca. Tinggalkan jejak yaa. Terima kasih♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Warmth
Подростковая литература"Kumohon, jangan tinggalkan aku.. Aku tidak ingin cepat mati sebab terbunuh dingin dan sepi." pintanya lirih, nyaris tak terdengar. Nyatanya, hidup menjawab dengan serentetan kejadian yang mengikis egois. Khidmat Ia dengar apa kata peristiwa. Setela...