Kepercayaan

51 17 1
                                    

Desir angin menyentuh anak rambut Arum. Matanya refleks menyipit untuk menghindari debu yang turut terbawa angin. Kakinya mulai pegal. Sudah hampir tiga puluh menit Ia berdiri dan Kafie belum juga datang untuk menjemputnya. Arum sudah mencoba menghubungi Kafie namun pria itu tak kunjung memberi respon. Dan sialnya, sesaat kemudian ponsel Arum mati karena kehabisan baterai.

Cerah perlahan meredup. Raja siang merangkak ke barat untuk melukis langit sore dengan jingganya. Sayang, hangat senja yang baru dinikmati dalam hitungan menit perlahan tertutup awan gelap. Kemudian dari kejauhan terlihat kilat disusul guntur yang cukup memekakkan telinga. Arum sedikit tersentak dan mulai merasa gelisah. Sederet pertanyaan melintas di kepalanya sekarang.

Di mana Kafie?

Kenapa Kafie belum juga datang?

Apakah Kafie baik-baik saja?

Atau Kafie lupa untuk menjemputnya?

...haruskah Arum pulang sendiri?

Tidak. Kafie bilang harus menunggu, maka Ia akan menunggu. Tak peduli berapa lama lagi, Arum akan sabar menunggu.

Derum mesin motor yang familiar kembali menyapa telinganya. Perlahan senyum tersungging tatkala sepasang mata Arum mendapati Kafie mendekat ke arahnya.

Ia benar, menunggu Kafie adalah pilihan yang tepat. Hanya perlu sedikit sabar, dan Kafie akan datang. Ia selalu datang untuk menepati perkataannya.

"Maaf ya, Sayang. Kamu jadi nunggu lama," Tergambar jelas penyesalan di wajah Kafie.

Arum tersenyum menenangkan. "Gapapa," Ucapnya lembut.

"Mau pakai jas hujan?" Gadis itu menahan Kafie yang hendak turun dari motornya.

"Enggak mau, enggak usah," Ia mendekat.

"OK, yaudah." Tangan Kafie terulur untuk memakaikan helm. "Ayo, takut keburu hujan,"

"Kamu tau aku suka kalau diguyur air," Tukas Arum seraya menaiki motor Kafie.

"Diguyur air shower dan diguyur air hujan itu beda. Pegangan," Suara Kafie terdengar lembut namun tegas. Perlahan Ia mulai melajukan motornya.

"Enggak ada yang bilang sama," Arum melingkarkan lengannya di pinggang Kafie. Kafie terkekeh. Laju motornya dipercepat.

Arum memejamkan mata menikmati hangatnya punggung Kafie diantara angin yang berhembus kencang. Berkali-kali terdengar suara helm yang beradu. Namun Arum tidak merasa terganggu. Ia selalu menyukai momen ini.

"Bu Agni banyak ngomong tadi. Aku jadi susah pamit. Sekali lagi maaf, kamu jadi nunggu lama," Kafie masih merasa bersalah. Namun tidak ada sahutan dari Arum. "Arum?"

Arum yang sibuk tenggelam dalam dunianya sendiri membuat Kafie semakin merasa bersalah. "Sayang, maaf.."

Arum terkesiap. "Uhm.. It's not a big deal, Fie. As long as you come to pick me up. Chill," Arum mengeratkan pelukannya untuk menyakinkan bahwa Ia baik-baik saja.

Kafie tersenyum, akhirnya perasaan tenang menjalar ke seluruh tubuhnya.

***

"Enggak sih, gue sama Hasan ikut basket karena pengen keliatan keren aja," Fadli berkata santai sambil memakan kuaci.

"Elo aja kali, Dli. Gua mah emang udah suka basket dari SMP," Hasan masih membuka kulit kuaci satu persatu kemudian memakannya setelah terkumpul banyak.

"Yaa, serah. Lo tertarik gabung sama Basket Club di sekolah kita?" Muizz berdeham.

"Well, gue dulu kapten Tim Basket di Aussie. So, yeah. Kayaknya gue mau gabung basket club lagi," Muizz menyeruput Latte dihadapannya.

WarmthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang