Bayang Pahit

51 14 4
                                    

***
Jam analog yang menggantung di dinding ruang keluarga sudah menunjukkan pukul 7 malam. Pertanda bahwa percakapan seru antara Arum, Kafie dan Ratna harus dihentikan.

Waktunya Kafie pulang.

Setelah berpamitan pada Ratna, Arum mengantar Kafie ke luar rumah. Mereka beriringan menuju teras.

"Kunci motornya nggak ketinggalan di dalam, kan?" Arum bertanya untuk memastikan.

"Enggak, kok. Ini," Tangan Kafie terangkat, tersenyum memperlihatkan kunci motor yang digenggamnya.

"Sip. Makasih ya.. Pulangnya hati-hati," Arum berkata lembut. Kemudian Kafie terkekeh.

"Rumah kita nempel padahal," Benar. Tak hanya bersisian, tembok rumah mereka menempel satu sama lain.

Bahkan balkon kamar Kafie dan Arum hanya berjarak lima centi. Hal tersebut merupakan salah satu alasan yang dapat membuat mereka selalu menghabiskan lebih banyak waktu bersama.

"Tapi kan kita gak tau apa yang bakalan terjadi beberapa detik kemudian," Arum mengalihkan pandangannya, menepis bayang pahit yang tiba-tiba hadir dalam pikirannya.

"Hush! Jangan do'ain yang jelek-jelek," Kali ini Arum yang terkekeh.

"Siapa yang lagi berdo'a coba? Udah ah sana pulang," Mencoba berkata santai untuk menyembunyikan gelisahnya dari Kafie.

"Masih kangen," Kafie mengerucutkan bibirnya.

"Tante Shila nungguin," Arum berusaha mengontrol emosi, terkekeh geli seolah tidak ada yang salah dalam dirinya.

"Ketemu di balkon?" Kafie mengangkat kedua alisnya. Arum menggeleng pelan.

Arum menatap Kafie. "Aku ngantuk, Fie.. Maaf. Lain kali?" Arum menolak tawaran Kafie dengan halus.

Mata itu.. Kafie tau Arum berbohong. Ia sudah khatam dengan tatapan itu.

Tangannya meraih lengan Arum, perlahan turun hingga mengunci jemari mungilnya dengan lembut.

Arum mengembuskan napas pelan. Ia menyesal mengadu pandang dengan Kafie. Orang bilang, mata tidak bisa bohong. Dan benar,  sendunya tak bisa Ia sembunyikan.

"Hun," Kafie balas menatap teduh. "Everything is gonna be alrgiht," Ia suguhkan senyum hangat, berharap Arum dapat sedikit tenang dan percaya padanya.

Tubuh Arum bergetar. Matanya buram membendung air yang akan segera menjamah pipinya. "There's nothing I can do to fix-"

"Shh," Kafie segera mendekap Arum. "Di sini enggak ada kesalahan yang perlu diperbaiki.. Kalaupun ada, kita perbaiki sama-sama. Ada aku, kamu enggak sendirian," Air mata Arum mengalir.

"Kasihan Mama, Fie.. Aku bisa bantu apa?" Isaknya mulai tak bisa Ia kendalikan.

Kafie menahan diri untuk memberi jawaban. Terlebih dahulu membiarkan Arum meluapkan emosi yang mungkin sudah tertahan sejak percakapan di meja makan.

Ia mulai membelai lembut rambut Arum yang tergerai. Menunggu sampai isaknya sedikit mereda kemudian melepaskan pelukannya. Tangannya beralih menyentuh pundak Arum. Kembali menatap teduh dan mulai bicara setelah Arum cukup siap untuk mendengarkannya.

"Jadi Arum yang bahagia. Itu yang bisa hapus semua keringat Tante Ratna,"

"How? Kamu tau aku gak sekuat itu," Kafie menggeleng.

Menyakitkan rasanya melihat Arum yang dulu selalu menebar senyum, sekarang berbalik murung dan tiba-tiba harus menanggung beban seberat itu.

"Kamu bertahan sampai sekarang, apa namanya kalau bukan kuat? And how? Let me tell you," Jemarinya menghapus air mata Arum. "Kita mulai dari sini," Perlahan telunjuk Kafie halus menarik sudut bibir Arum untuk melukis seulas senyum.

WarmthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang