***
Sabtu.
Hari favorit bagi kebanyakan siswa. Di mana biasanya mereka bebas bermain atau berhibernasi sepuas hati --selagi tidak ada tugas menumpuk yang musti dikumpulkan esok lusa.Seperti yang lain, Sabtu bagi Arum adalah hari kebebasan. Bahkan bukan hanya Sabtu, semua hari libur adalah Hari Bebas Bermain baginya, dan sahabatnya. Mereka biasa melakukan banyak hal atau sekedar mengobrol dan menonton TV hanya untuk menghabiskan waktu bersama.
Namun sepertinya Sabtu ini akan berbeda. Kafie sangat sibuk. Ia tidak mungkin mau melakukan sesuatu yang tidak lebih penting dari persiapan olimpiade.
Mengingat hal itu, Arum menghela napas berat. Ia membuka pintu balkon dan melangkah masuk. Tangannya Ia istirahatkan di atas pagar yang tingginya tak sampai mencapai dada.
Arum memejamkan mata, menghirup sejuknya udara pagi ini dalam-dalam. Hatinya berbisik pada langit, Ia ingin Kafie datang untuk menghabiskan hari bersama-sama dengannya.
Cleekk.
Pintu kamarnya terbuka. Sungguh? Pemilik langit mengabulkan permintaannya? Ia refleks mengembangkan senyum.
Matanya terbuka dan Arum segera berbalik badan.Rupanya Ratna.
Sedetik kemudian senyumnya luntur. Mamanya datang dengan pakaian rapi dan wangi. Bisa Ia pastikan, mamanya akan pergi untuk urusan pekerjaan."Sayang," Ratna menghampiri Arum dengan senyuman hangatnya.
"Pagi, Ma!" Arum berusaha menampilkan senyuman yang sama. "Mama mau ke mana? Ini Sabtu lho, Ma. Mama gak lupa, kan?" Ia sengaja menggoda mamanya.
Ratna terkekeh. "Iya, Sayang. Mama gak pikun kok," Wanita itu mencubit pipi Arum gemas. "Mama ada pertemuan untuk membahas jadwal kunjungan ke Bandung yang mama bicarakan beberapa hari lalu. Ingat?"
"Ia, Sayang. Anakmu gak pikun kok," Arum meniru gaya bicara Ratna sebelumnya. Ratna terkekeh lagi dan kali ini mengacak-acak rambut Arum dengan gemas.
"Kalau begitu mama pamit pergi dulu. Maaf mama gak sempat buat sarapan. Tapi di bawah ada roti sama selai. Di kulkas juga ada susu sama sereal. Gapapa kan kamu buat sarapan sendiri?"
Arum menangkap fokus yang berbeda. "Loh.. Mama gak sarapan dong?"
"Pertemuannya sekaligus sarapan bareng," Jawaban Ratna membuat Arum ber-oh paham.
"OK. Don't worry, buat sarapan sendiri mah gampang," Ratna mengangguk.
"Sip kalau gitu. Mama pergi dulu yaa, Sayang." Wanita itu mengecup lembut ubun-ubun anaknya. "Daahh,"
"Hati-hati, Ma!"
Setelah Ratna ke luar kamar, wajahnya berubah murung. Ia sedih melihat Ratna yang bekerja keras untuk menghidupinya. Lingkar mata hitam yang berusaha wanita itu sembunyikan di balik dempulnya masih dapat Arum lihat. Di dahinya mulai muncul keriput. Ia tahu, Ratna sudah menguras banyak tenaga dan pikirannya setelah Rizal meninggal.
Sabtu ini terasa buruk sekali. Namun Ia tak boleh menangis. Matanya sendu menatap balkon rumah Kafie. Laki-laki itu tidak akan datang untuk menghapus air matanya. Ia tidak akan datang untuk menenangkannya.
Hal buruk mulai menjalar di otaknya. Arum melamun memikirkan orang-orang terpenting dalam hidupnya yang mulai meninggalkannya sendiri. Dingin menyelimutinya sekarang. Napasnya pun jadi sesak.
Baginya, tidak ada yang lebih menakutkan dari ditinggal pergi oleh orang terkasih.
"Balkon kamarku dilihatin terus. Kangen ya sama yang punya kamar?"
Lamunannya buyar. Matanya langsung terarah pada orang yang baru saja bersuara. Tanpa aba-aba, gadis itu langsung memeluk lelaki dihadapannya. Ini cukup untuk mengusir dingin yang menusuknya tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warmth
Teen Fiction"Kumohon, jangan tinggalkan aku.. Aku tidak ingin cepat mati sebab terbunuh dingin dan sepi." pintanya lirih, nyaris tak terdengar. Nyatanya, hidup menjawab dengan serentetan kejadian yang mengikis egois. Khidmat Ia dengar apa kata peristiwa. Setela...