Monokrom-Monoton

60 21 4
                                    

***

"Memangnya tidak bisa digantikan oleh orang lain ya, Bu?" Kafie memelas.

"Sekolah memilih kamu, Kafie."

"Tapi, Bu.. Aduh. Mohon maaf, saya tidak bisa." Kafie menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia bingung bagaimana caranya menolak dengan halus.

"Kamu tidak memiliki alasan yang kuat, Kafie." Kafie menunduk pasrah.

"Dengar, Nak. Sudah tiga semester kamu menjadi Juara Umum. Nilai akademik kamu, khususnya sains, sangat baik. Kamu bersekolah di sini, berati secara tidak langsung kamu juga memiliki kewajiban untuk mengharumkan nama sekolah. Seharusnya kamu bersyukur. Dari hampir lima ratus siswa, kamu yang terpilih untuk mewakili sekolah. Jadi tidak ada alasan untuk menolak." Wanita paruh baya bertubuh kurus dengan kaca mata tebal itu menatap Kafie jengkel.

Sudah kali ketiga Ia membujuk Kafie agar mau menjadi wakil sekolah untuk mengikuti Olimpiade Fisika. Dan jawabannya tetap sama, Kafie tidak mau. Kafie selalu menolak dengan alasan 'tidak bisa '. Bagaimana mungkin? Kafie merupakan satu-satunya siswa yang selalu mendapatkan nilai sempurna dalam mata pelajaran Fisika.

Kali ini wanita itu benar-benar jengkel. Ia harus berhasil, bagaimanapun caranya. Sekolah jelas sangat membutuhkan Kafie sekarang. Kafie tidak diberikan hak untuk menolak.

"Cukup jelas, kan? Atau ada lagi yang mau ditanyakan?" Ia melihat mood  Kafie yang berubah buruk. Ini wajar karena tidak ada seorang pun yang suka dipaksa. Namun terkadang seseorang harus terpaksa agar bisa maju dan sukses. Jadi, tidak masalah.

"Kapan mulai latihan persiapan?" Kafie mengalah. Wanita itu tersenyum penuh kemenangan, garis-garis tua nya semakin jelas terlihat.

"Mulai besok, setiap sepulang sekolah. Sudah bel, Ibu persilahkan kamu untuk istirahat," Telunjuknya membetulkan posisi kacamata yang sempat melorot sampai ujung hidung.

"Baik, Bu. Saya permisi." Kafie bergegas keluar ruang guru dengan muka kusut. Ia benar-benar tidak mau. Tapi Ia juga tidak bisa menolak.

***

"Saya gak tau kalau harus buat puisi,"

"Gapapa, kamu kan murid baru. Pak Robi pasti kasih toleransi," Arum menyerahkan kertas puisinya pada Galih untuk kemudian diserahkan pada Pak Robi.

Sebenarnya Muizz juga tau pasti ada keringanan untuknya. Ia sekedar basa-basi karena Arum tidak akan bicara jika Ia tidak memulai.

"Oh, OK.." Muizz mengacak-ngacak pelan rambutnya. Ia bingung, kehabisan topik. "Ehm.. Kamu, mau ke kantin? Kalau mau-"

"Wassap, bro, Muizz! Kenalin nama gue Fadli. Dan ini manusia buluk sebelah gue namanya Hasan," Fadli menarik lengan Muizz untuk bersalaman.

"Eitss, buluk teriak buluk. Monmaap, bro. Si Fadli ini mulutnya memang tidak berbudi pekerti," Sanggah Hasan.

"Gak usah di denger, Bro. Apa yang keluar dari mulut Manusia Buluk itu biasanya hoax," Muizz hanya tertawa geli.

"Berisik lo, Dli! Anak baru nih. Harusnya kita kasih first impression yang baik. Biar nanti kalau gue minta Desc sama FI di IG, jawabannya keren,"

"Persetan dengan first impression. Mari, Bro Muizz. Lebih baik kita ke kantin sekalian gue jadi Tour Guide pribadi lo. Bayarnya cukup pake semangkuk cuanki dan segelas es teh manis," Fadli menarik paksa Muizz dan berjalan keluar kelas. Sedangkan Hasan mengikutinya dibelakang dengan wajah kesal. Muizz sempat menoleh ke arah Arum untuk pamit kemudian hanya dibalas senyum dan anggukan.

Setelah Muizz benar-benar hilang ditelan pintu, Arum melihat Kafie datang membawa kotak bekalnya dengan wajah yang ditekuk.

"Aduh, awan mendung. Bentar lagi hujan nih," Arum sengaja menggoda Kafie.

WarmthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang