Oh?

22 7 9
                                    

***

Arum turun untuk membuka gerbang yang sudah tak terkunci. Kemudian Muizz menahan lengannya.

"Biar saya aja,"

Arum menurut saja. Sebab dirinya pun tak memiliki cukup energi untuk membuka gerbang yang berbobot dua kali lipat dari dirinya.

Gadis itu terdiam menatap rumah Kafie dengan sendu. Namun sendu-sayu itu tetap elok di bawah sinar petang kekuningan. Muizz melihatnya sekilas dan terpana. Ia yakin, malam ini langit-langit kamarnya akan dipenuhi dengan bayang-bayang seorang Arum, gadis yang membuatnya kehilangan kewarasan akhir-akhir ini.

"Gerbangnya gak dikunci. Berarti mama kamu udah pulang ya?" Pria itu berusaha menepis gugupnya jauh-jauh.

Fokus Arum teralih. Kini matanya menatap Muizz. "Iya, udah kayaknya," Gadis itu menjawab seraya menahan sesak yang kembali muncul setelah dirinya mengingat Kafie.

Ia benar-benar tidak terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sulit sekali membiasakan diri dengan ketiadaan seseorang yang biasanya selalu di sisi kita setiap waktu.

"Kalau gitu ayo naik lagi. Saya antar sampe dalem," Mendengar itu lagi-lagi Arum menurut saja. Lagipula tidak masalah jika sekarang Muizz mampir sebentar. Toh Pria itu telah menjadi teman dekatnya sekarang.

Saat motor sudah terparkir di depan teras, Arum segera turun kembali.
Seiring dengan Arum yang kini melepas helm, Ratna muncul dari dalam garasi dengan membawa beberapa dokumen di tangannya. Wanita berparas teduh itu kemudian segera menghampiri mereka.

"Ayo cepet masuk. Mama udah buatkan rendang. Kalian pasti lapar, apalagi Kafie nih pasti udah keroncongan banget perutnya," Ratna jelas tak memperhatikan mereka dengan baik. Fokusnya terbagi dengan rentetan pekerjaan yang menghantui kepalanya.

"Bukan Kafie, Ma." Muizz segera melepas helm dan turun dari motornya. Mendengar itu, Ratna langsung menoleh pada Muizz.

"Ini Muizz, teman baru Arum." Arum melanjutkan kalimatnya dengan memperkenalkan Muizz pada Ratna.

"Sore tante," Muizz menyapa dan menyalami calon mer- Mamanya Arum.

Ratna terkejut dan agak malu karena salah mengira. "Eh.. Aduh maaf, Nak. Tante kira Kafie,"

Arum tertawa kecil melihat ekspresi mamanya.

"Gapapa tante," Muizz tersenyum sopan.

"Maaf yaa.. Soalnya Arum biasanya pulang sama Kafie," Ratna lagi-lagi meminta maaf.

"Hehe iya, Tante. Kafienya ada bimbingan tambahan untuk olimpiade, jadi saya yang antar Arum pulang."

"Ohh iya, dia ikut olimpiade fisika yaa." Wanita itu kembali teringat dengan percakapan mereka di meja makan. "Kalau gitu ayo nak Muizz masuk dulu," Senyum ramahnya membuat Muizz terkesima. Rupanya Arum benar-benar berasal dari bibit unggul.

Belum sempat Ia merespon, ponsel di dalam sakunya bergetar. Kemudian Ia pamit sebentar untuk menerima panggilan.

Ratna dan Arum hanya berdiri memandangi punggung Muizz. Samar-samar suara Muizz tertangkap oleh keduanya.

"Wa'alaikum salam. Sudah, Bu." Ia menyahuti panggilan di seberang sana.
"Di rumah teman," Intonasinya melembut.
"Oh.. Iya bisa, Bu. Tapi jalanan macet. Paling sekitar setengah jam baru bisa sampai lokasi," Ia memperhatikan angka pada Patek philippe di pergelangannya.
"Iya jam-jam pulang kerja jalanan selalu padat seperti biasa,"
Pria itu tiba-tiba terkekeh. "Baik, Bu. Muizz berangkat sekarang,"
"Wa'alaikum salam," Setelah panggilan berakhir, ponselnya kembali Ia masukkan ke dalam saku.

WarmthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang