Hajat Kecil Sultan Koesoemaatmadja dan Gelisah di Seberang Sana

22 3 0
                                    

***

Tidak pernah terlintas sekalipun dalam benak Arum, bahwa akan ada hari di mana dirinya turun dari mobil mewah, menginjakkan kaki di karpet merah yang tebal, dengan pakaian yang harganya setara dengan uang jajannya selama setahun penuh, beserta pria gagah disampingnya, dua kurcaci tampan di belakangnya, serta bodyguard yang turut berjalan disekeliling mereka.

Bukan selebriti, namun mereka menjadi objek atas semua pasang mata yang berada di setiap sudut. Ini hal yang paling tidak disukai oleh Arum. Dia terus menunduk terlebih setelah menyadari bahwa gadis-gadis berdempul di sekitar mereka nampak tak suka dan mulai saling berbisik.

"Fix banget anjir. Gue artis," Fadli terdengar sangat sumringah, kontras dengan Arum yang nampak tegang dan ketakutan.

Sedang Hasan berusaha membuat dirinya netral, padahal jauh di lubuk hatinya, Ia ingin berteriak kegirangan. Ini akan menjadi salah satu momen terbaik dalam hidupnya. Ia menyapu pandang dan mengagumi setiap sudut dalam diam.

Gedung besar dengan lahan parkir yang luas, juga pot-pot besar dengan tanaman hijau segar turut menghiasi bagian luar gedung. Red carpet terhampar dari tangga menuju bagian dalam gedung, di mana pesta diselenggarakan. Semakin jauh kaki melangkah, semakin jelas hiruk-pikuk di dalam sana.

Muizz mengangguk dan tersenyum untuk menanggapi sapa dari beberapa kerabat Bubu yang ia kenali. Dirinya cenderung mengabaikan para gadis yang melayangkan segala bentuk godaan yang malah terdengar rendah dan menjijikkan. Saat telinganya mulai menangkap pembicaraan mereka yang mempertanyakan gadis di sampingnya, ia menatap tajam dan segera menoleh ke arah Arum.

Diperhatikannya gerak tubuh Arum yang sering terlihat ketika gadis itu berjalan sendirian di koridor sekolah. Muizz kini mengerti mengapa Arum sebegitu menempelnya pada Kafie. Karena hanya lelaki itulah yang dapat Arum percaya untuk melindunginya dari situasi yang dirasa mengancam. Seperti sekarang misalnya. Don't be afraid, Grizelle. I'll never let 'em shit on you.

"Arum," Gadis itu akhirnya mendongak untuk menatap Muizz. "I just wanna say thank you. Bubu pasti senang sekali kamu datang. Malah sampai mau repot-repot siapkan kado," Ia ikut tersenyum melihat Muizz yang tersenyum.

"Aku yang harusnya berterima kasih, Bubu baik banget mau ngundang aku ke acara spesialnya. Malah sampai repot-repot siapkan gaun. Gak tanggung-tanggung, makeup artistnya juga ada. Gak sebanding banget," Arum nyengir, Muizz terkekeh.

"Ekhem.. Iya sama-sama, Hasan. Aku juga seneng banget bisa ke sini, meskipun sampai harus bolos les matematika," Celetuk Fadli sontak membuat Hasan gemas dan menoyor kepalanya. Fadli menepis kasar dan sedikit menjauh sambil menjadikan tangannya sebagai tameng untuk menutupi rambutnya.

"Rambut gue udah disihir Madam Butik, anjim! Jadi jangan coba-coba sentuh dengan tangan jahanammu, Anak Muda Durjana!" Ketusnya. Hasan mendengus.

Madam Butik yang Fadli sebutkan merupakan orang yang dipercaya Bubu untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan fashion dan kecantikan. Ia sudah mengabdi belasan tahun di keluarga Koesoemaatmadja.

"Lagi di acara kayak gini kita, Dli. Bisa ga digunakan dulu otaknya secara baik dan benar? Lagian sejak kapan lo ga bolos les MTK?" Sinis Hasan.

"Ih, lo ga ngerti sarkasme ya, San? Lo tidur waktu jam pelajaran Bu Nur?" Fadli menggelengkan kepala sambil berdecak.

Hasan mendengus lagi. "Lo emang ga ada otak," Jawaban Hasan membuat Fadli cemberut. Sedang Arum dan Muizz hanya bisa terkekeh melihat mereka terus berdebat.

***

"Gue bener-bener minta maaf. Gara-gara gue kalian harus struggling lagi buat--"

"Udah ke-dua ratus enam puluh enam bagi seratus tiga puluh tiga tambah lima kalinya lo minta maaf kayak gitu, Fie." Laras menginterupsi Kafie dengan menyerocos sambil menatapnya kesal.

Kafie menunduk dan kembali berkutat dengan kertas dihadapannya.

"Hey, dengerin gue." Laras menahan tangan Kafie. Lelaki itu menatapnya lemas. "Gue sama Ono beneran gapapa. Ono suka ngitung, gue suka hal yang menantang. Ini fun buat kita. Ya kan, No?"

Pria berkacamata tebal itu mengangguk. "Ndak usah pikirkan soal tadi siang terus, mending pikirkan soal yang kira-kira muncul besok," Ujarnya dengan logat jawa yang sedikit medok.

"Lo udah tau kelemahan lawan, Fie. Kita bisa jauh lebih matang dari sebelumnya. Lo percaya hal baik akan terjadi besok, kan?" Laras menatap menyakinkan. Kafie mengangguk. "Harus. Lo harus percaya!" Lanjut gadis itu berapi-api.

"Makasih, Nay, No," Kafie tersenyum.

"Gio lho, Fie. GIO," Ucap Sugiono tak terima. Kemudian mereka tertawa renyah.

***
"Ini dari Hasan dan Fadli, Bu." Mereka memberikan kotak transparan berisi teko berwarna coklat dengan ukiran abstrak. Terlihat jelas bahwa bahan yang digunakan adalah tanah liat. "Maaf gak bisa kasih yang bagus-bagus, hehe. Selamat ulang tahun," Ujar Hasan tulus.

Bubu menerimanya dengan sumringah. Meletakan hadiah itu di atas nampan yang dipegang oleh wanita berseragam pelayan di sampingnya. Ia lalu memperhatikan kado dari Hasan dan Fadli sekali lagi.

"Gak bagus gimana? It's so pretty, Bubu suka! Makasih ya anak-anakkuuu..!" Bubu bergantian memeluk Hasan kemudian Fadli.

"Itu handmade asli lho, Bu. Gak paham kenapa waktu itu Hasan tiba-tiba buat teko. Tapi kelihatannya seru, jadi yaudah Fadli bantuin aja," Hasan muak dengan Fadli yang mulai cari muka.

"Iya, Bu. Tujuan awal saya buat itu tadinya biar bisa masukkin Fadli ke dalem. Tapi gak bisa terus, eh ternyata dia Jin Botol, bukan Jin Teko," Sinis Hasan.

"Kurang ajar lo, Bihun Goreng!" Sahut Fadli tak terima. Orang di sekitar mereka tidak bisa membendung tawa. Terlebih saat melihat Fadli cemberut.

"Kalian harus sering-sering main ke rumah. Wallahi Bubu kenyang ketawa terus," Ucap Bubu di sela-sela tawanya.

"Hehe iya, Bu." Hasan mengangguk sopan. Fadli masih cemberut.

"Hadehh.. Muizz sama Arum mana, ya? Kok lama?" Bubu celingukan.

"Biar saya carikan, Nyonya." Ucap salah seorang pelayan di sampingnya. Bubu mengangguk mengiyakan.

Namun belum sempat Ia melangkahkan kaki, Muizz dan Arum muncul dengan beberapa Pria di belakangnya. Orang-orang menyingkir memberi jalan.

Pria-pria itu kemudian menampilkan beberapa lukisan dengan ukuran kanvas yang berbeda-beda. Mereka nampak sangat berhati-hati, seolah hidup-matinya bergantung pada lukisan-lukisan tersebut.

Formasi terbentuk, lukisan tersusun.  Mulai terlihat jelas wajah Bubu yang tersenyum bahagia di dalam kanvas. Sang empunya wajah malah menutup mulut terkejut.

Tidak ada satupun pasang mata yang melewatkan momen ini. Malah ada beberapa yang sengaja mendekat untuk dapat melihatnya lebih jelas. Dan tentu, mengabadikannya juga menyebarkannya ke media sosial yang mereka punya.

"Ini dari Muizz dan Arum, Bu. Mohon maaf lukisannya masih basah karena kami baru membuatnya tadi sepulang sekolah," Ujar Muizz seraya menunduk sopan.

"Kami harap Bubu menyukai hadiah kecil dari kami," Muizz melanjutkan. Gadis di sampingnya sedikit gugup melihat respon orang-orang sekitar yang mulai berbisik. Di tambah Bubu yang belum mengucapkan sepatah kata pun.

Padahal Bubu diam karena masih terpana melihat wajahnya sendiri di dalam kanvas. Bubu menjadi objek yang paling berwarna, sedangkan sisi lainnya cenderung gelap. Matanya dalam lukisan terlihat berbinar, persis seperti sorot beliau saat ini.

"Bagi kami, Bubu seperti energi positif yang dapat mengusir duka. Terima kasih karena sudah dan selalu menyakinkan kami semua, bahwa akan selalu ada jalan dari segala buntu. Bahwa akan selalu ada terang, dari segala gelap," Muizz mengambil jeda. Ia sendiri tidak tahu mengapa perkataan tersebut lolos begitu saja dari mulutnya. Namun kemudian Ia tersenyum lega. Seolah berat di pundaknya sirna seketika. Barangkali memang itulah ucapan terima kasih yang sudah tertahan begitu lama.

"Selamat ulang tahun, Bubu." lanjutnya.

Mata Bubu mulai berair.

~~~

Hae lage gaes🐒

WarmthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang