***
"Kok cuma satu suap.. Buburnya gak enak ya? Aku beliin makanan lain mau?"
"Enggak usah. Nanti malah kebuang,"
Intonasi cemas pria itu kontras sekali dengan suara lemah yang keluar dari mulut gadis di hadapannya.
Setelah siuman dan tenggelam dalam keheningan panjang, mereka akhirnya saling bicara. Namun meski demikian, di antara keduanya tidak ada yang menyinggung perihal kejadian tadi pagi.Arum enggan memulai, sedang Kafie tak menyadari akar permasalahan yang mulai merambat.
"Gak akan kebuang. Kamu makan beberapa suap lagi, nanti Kafie habisin sisanya."
Arum menoleh, menaikkan sebelah alisnya.
"Apa kata orang nanti kalau tau Kafie kesayangannya Bu Agni ternyata suka makan makanan sisa?"
"Yah mau gimana lagi ya, Mbak." Ekspresi Kafie berubah dramatis. "Namanya nasib orang susah. Beli kuota aja gak pernah, cuma ngandelin wifi sekolah sama wifi di rumah. Kalau lagi kepepet banget di luar, ngemis tathering sama siapa aja. Soal makan juga begitu, mau gak mau harus ikhlas makan makanan sisa. Yang penting kenyang,"
Akhirnya sudut-sudut bibir Arum tertarik untuk melengkung senyum. Senyumannya semakin mengembang dan pada akhirnya Kafie kembali berhasil mengganti murung dengan tawa.
"Apaan sih, Fie. Gak jelas!" Arum menyeka air mata yang keluar karena tawa. Ia mengatur napas dan berusaha mengendalikan diri.
Pria dihadapannya ikut tersenyum."Nah gitu dong daritadi. Ketawa, jangan cemberut muluuu," Ia mengacak gemas rambut Arum.
"Aishh.. Aku sakit kepala loh, Fie." Arum halus menepis tangan jahil Kafie.
Kafie terkekeh. "Iyaa iyaaa,"
Tangan kirinya menggenggam kedua tangan mungil Arum, sedang tangan kanannya lembut mengelus rambut hitam yang tergerai.Hilang sudah awan gelap yang menyelimuti Arum sejak kemarin malam.
Bukan hal aneh, Kafie memang selalu bisa membuatnya luluh secepat itu. Belasan tahun lebih dari cukup untuk menguasai keahlian 'mengembalikan mood' gadis manis yang menjadi sahabatnya. Tanpa kata maaf, Arum kembali membiarkan Kafie mencipta hangat disekitarnya.Terkadang memang begitu. Mereka yang sudah teramat dekat, tidak memerlukan kata maaf untuk kembali melekat bahkan setelah bertengkar hebat.
"Galih bilang hari ini guru-guru sibuk ngurusin yang ikut olimpiade, makannya enggak bisa masuk kelas. Kamu kok bisa ada di sini?"
"Aku panik dan langsung izin keluar lab setelah Dimdim kasih kabar kalau kamu sakit,"
"Dimdim?"
Kafie tertawa melihat Arum yang menautkan alisnya, kebingungan. "Iya, Si Dimdim. And by the way, dia juga yang gendong kamu ke UKS,"
"Hah?"
Mata Arum membulat. Ia dibuat terkejut dengan fakta yang Kafie sebutkan."Serius!" Kafie masih tertawa. "Hari ini kan kelasku olahraga, dia lagi mau cari minum katanya. Terus lihat Arum dari jauh tiba-tiba limbung. Lari lah dia, menyelamatkan Yayang Arumnya,"
"Iiisssh! Apaan sih, Fie!" Arum memukul lengan Kafie. Ia benar-benar tak suka jika Kafie sudah menggodanya seperti ini.
"Ehh beneran loh ini," Kafie berusaha mengendalikan tawanya agar bisa lanjut bercerita. "Abis dia bawa Yayang Arumnya ke UKS, dia teriak-teriak disepanjang koridor, nyari anak PMR supaya Yayang Arumnya bisa cepat-cepat ditangani."
"Terus ngasih kabar ke kamunya gimana?"
"Dia teriak-teriak, Sayang. Seisi Lab denger. Enggak deng, seisi sekolah kayaknya denger."
KAMU SEDANG MEMBACA
Warmth
Teen Fiction"Kumohon, jangan tinggalkan aku.. Aku tidak ingin cepat mati sebab terbunuh dingin dan sepi." pintanya lirih, nyaris tak terdengar. Nyatanya, hidup menjawab dengan serentetan kejadian yang mengikis egois. Khidmat Ia dengar apa kata peristiwa. Setela...