Celah Pintu

37 12 13
                                    

***

"Saya gak bakalan macem-macem kok. Janji!" Muizz berusaha meyakinkan Arum dengan berjanji. Ia mengacungkan jari kelingkingnya dihadapan Arum. Menatap dengan serius, berharap agar gadis itu dapat mempercayainya dengan melakukan Pinky Promise.

Arum terkekeh. Alih-alih menautkan kelingking, Ia menggenggam penuh tangan Muizz kemudian menurunkannya dengan kedua tangan mungilnya.

Mendapat perlakuan seperti itu, tentu saja Muizz berdebar-debar. Matanya masih terbuka lebar menatap Arum.

"Gimana pengalaman jadi guru privatnya?" Nada Arum terdengar mengejek. Muizz yang tersadar dari lamunan seketika meneguk salivanya sebelum menjawab.

"Such a great experience!" Ia berusaha bersikap senormal mungkin.
Keduanya tertawa renyah.

"Jadi kapan?" Pertanyaan Arum seketika menghentikan tawa Muizz.

"Kapan apa?" Muizz balas bertanya, bingung dengan maksud pertanyaan Arum.

"Buka pendaftaran resmi untuk join RuangMuizz," Arum kembali tertawa. Kali ini lebih renyah daripada sebelumnya seolah puas mengejek Muizz.

Rupanya kutipan yang telah banyak beredar itu benar. Dikatakan bahwa orang yang tertawa paling keras terkadang menyembunyikan luka paling dalam.
Arum berhasil membuat Muizz tidak mengira dirinya sedang bersedih. Sebaliknya, Muizz malah kembali melamun. Dibuat takjub oleh paras gadis dihadapannya yang meski sedang sepucat purnama, tawanya tetap merekah cantik. Sudut bibirnya tertarik begitu saja untuk melengkung senyum.

"Ekhem. Kalau saya buka, kamu mau daftar juga?" Muizz tiba-tiba mendekatkan wajahnya. Arum sedikit terkejut dan buru-buru menggeleng.

"Enggak," Jawabnya singkat.

"Kenapa?" Alis Muizz beradu.

"Takut gak sanggup bayar,"
Arum kembali tertawa. Kali ini terbahak sampai matanya berair. Muizz menjauhkan wajahnya kembali. Tersenyum puas melihat gadis itu bisa tertawa lepas dihadapannya. Mengingat bagaimana pendiam dan tertutupnya Arum yang hanya bisa benar-benar menjadi diri sendiri saat bersama Kafie.

Setelah tawa Arum mereda, Muizz memasang wajah seolah kecewa.

"Ejek aja terus gapapa," Arum terkekeh, menempelkan kedua tangannya di hadapan Muizz.

"Mohon dimaafkan," Muizz menyambut tangan Arum kedua tangannya. Tangan mungil Arum kini tertutup sempurna oleh tangan Muizz.

"Permohonan diterima, harap tidak diulangi lagi. Kembali ke tempat!"

"She up! Kembali ke tempat!" Arum menarik tangannya dari genggaman Muizz kemudian terkekeh. "Aduh maaf ya, Izz. Aku kalau sakit suka annoying,"

"Nah, I didn't get annoyed at all. Saya malah suka ngelihat kamu kayak barusan. Akhirnya berasa temenan beneran," Muizz memang baru kali ini merasa Arum tidak meperlakukannya seperti stranger.

"Jadi selama ini kamu merasa kita temenan bohongan?" Arum kembali menggoda Muizz. Muizz terkekeh.

"Bukan gitu. Kamu di kelas banyak diam. Saya gak pernah lihat kamu ngobrol banyak sama teman-teman yang lain. Sama saya juga gitu. Padahal kita kan tablemate, saya berasa bawel sendiri. Padahal biasanya kan perempuan yang banyak bicara." Muizz berterus terang.

Arum tersenyum tipis. Sadar akan bagaimana sikapnya terhadap orang lain. Ia seolah menjaga lingkaran pertemanannya. Arum memang berhubungan baik dengan semua orang yang menganggapnya teman. Tapi tetap saja, tidak ada yang bisa lebih dari sekedar tegur sapa. Atau lebih dekat lagi sesaat karena harus mengerjakan projek kelompok. Tidak ada yang bisa memiliki posisi setara dengan Kafie.
Tapi tentu saja, diamnya bukan tanpa alasan.

WarmthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang