Duniaku - Duniamu

38 3 0
                                    

Hari berikutnya.

Selepas alarm kebebasan dibunyikan, siswa beramai-ramai ke luar ruangan. Riang bergegas meninggalkan rumah ke dua yang lebih terasa seperti penjara ---bagi sebagian orang.
Mungkin beberapa masih ada yang belum beranjak untuk menyelesaikan urusannya. Muizz, Arum, dan Si Kembar pun begitu. Mereka masih berada di kelas untuk mendiskusikan acara besar malam ini.

"Bro, I swear, gue bukannya gak mau dateng. Tapi to be honest gue gaada pengalaman dateng ke party kalangan sultan. Takut ntar malah malu-maluin lo anjir," Jujur Hasan sesaat setelah Ia menerima invitation card dari Muizz.

"Bacot. Lo mah tiap hari juga bikin malu sebenernya. Tapi gue sama Bro Muizz santui aja, menerima apa adanya. Ye gak, Bro?" Si Tengil menyangkal pernyataan Hasan. Muizz terkekeh.

"Eh gue ngajak ngobrol Muizz ya! Aturan jin botol gak usah nyaut!" Protes Hasan.

Fadli bangkit dari duduknya, berkacak pinggang di hadapan Hasan dengan mata yang melotot.

"Ape? Mau ape lo?!" Hasan menantang maju, mendekatkan mukanya pada Fadli. Dia tidak mau kalah.

Arum sedikit panik, Ia takut Si Kembar baku hantam di hadapannya. Paham dengan gesture yang Arum tunjukkan, Muizz memberinya tatapan teduh dan tersenyum hangat untuk mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Gadis itu kemudian menunduk.

"Takut dong lo, please. Gue udah melotot gini lo harusnya takut," Ucap Fadli tanpa mengubah ekspresinya.

"Tolol," Hasan menyentil dahi Fadli.

"Auwhh, galak banget!" Suara Fadli yang berlebihan membuat Hasan brigidik jijik.

"Udah eh. Berantem mulu," Lerai Muizz. "And.. Please.. Bubu udah undang kalian, it means your presence will make her happy. That is enough." lanjutnya.

"Bro-"

"Wait, hold up." Muizz menyela, tangannya meraih ponsel yang berdering. "Bubu's calling. Bentar ya," Suasana mendadak hening.

"Iya, assalamu'alaikum, Bu?"

"Wa'alaikum salam. Still at school, hm?"

"Iya, Bu. Ab-"

"Gimana? Teman-temanmu bisa datang, kan?"

"Uhm.." Muizz menatap mereka satu persatu dengan tatapan pasrah. "Maaf belum tahu, Bu. Biar setelah Bubu telfon, Ab-"

"No need. Bubu minta kontak mereka aja. Biar nanti Bubu hubungi satu-persatu."

Semua sedikit tersentak. Sampai sebegitunya?

"Atau Bubu minta alamat rumahnya saja. We have enough time for inviting them in person,"

Semakin terkejut mereka dibuatnya. Se-spesial itu kah mereka sampai hendak diundang secara langsung?

Fadli tidak tahan lagi. "Sore, Bubuuuuu. Fadli di siniiii,"

"Ehh rupanya ada Fadliii," Suara Bubu terdengar ceria.

"Hasan sama Arum juga ada, Bu. Bro Muizz baru kasih liat kartu undangannya. Terima kasih banyak sudah mengundang kami, malam ini kita sepakat langsung meluncuuurr,"

Muizz menyunggingkan senyum. Sedang Hasan dan Arum pasrah saja.

"Ahhh senangnya anak-anak Bubu mau datang.. Terima kasih, ya!"

"Okay, pokoknya don't worry be happy birthday buat Bubu!"

"Aaahhh terima kasih, Fadliii!" Suara Bubu semakin ceria. "Oh iya, kalau boleh Bubu mau minta sesuatu dari kalian.." Intonasinya melembut.

"Jangan minta yang mahal ya, Bu. Kami nggak mampphhm..," Hasan buru-buru membekap mulut jahannam Fadli.

"Boleh kok, Bu. Boleh.."

Terdengar tawa renyah Bubu di seberang sana.

***

Suara manusia yang saling bicara, kendaraan yang berlalu lalang, serta gemuruh guntur yang hadir sesekali, turut meriuhkan suasana sore itu.

Ketiga remaja yang baru saja selesai bertempur satu jam yang lalu, kini asyik menyeruput kuah kaldu yang masih mengepul. Seolah seluruh penat turut luruh dalam wadah cekung yang kita biasa sebut dengan mangkuk.

Hitungan menit semuanya sirna. Mereka betul-betul sudah menguras tenaga sepertinya.

Awan mulai menangis. Mereka terjebak bersama dua guru pendamping dan orang-orang asing lainnya.

"Duh, deras. Kita gak bisa terobos karena parkir lumayan jauh tadi. Tapi kalian kelihatan lelah sekali, harus segera istirahat," Ujar wanita yang mereka panggil Bu Agni.

"Iya, Bu. Semoga hujannya lekas reda," Sahut gadis yang ikat rambutnya mulai tidak beraturan.

"Wah, kalau hujannya begini biasanya lama reda, Bu. Ndakpapa, biar saya saja yang terobos. Salah saya juga tadi parkir kejauhan hehe," Pria buncit berkumis tebal itu segera beranjak setelah Bu Agni mengiyakan.

"Yasudah saya bayar dulu makanannya. Tunggu sebentar, yaa." Bu Agni ikut beranjak.

"Huaaaaahh.. Capek banget!" Keluh gadis itu seraya bersandar di kursi.

"Iyo nih. Saya juga udah ndak kuat mau tidur," Lelaki berkacamata tebal itu menyahut.

"Bener banget, No. Ngantuk nih.."

"Gio, Laras. GIO." Tegas lelaki itu.

"Iye dah maap. GIO. Puas, lo?" Laras memutar bola matanya.

Kafie diam saja. Ia sedang tidak ingin memberi tanggapan apapun, terhadap siapapun.

Bim biiimm!

"Ayo cepet itu Pak Yono udah di depan," Suara Bu Agni tiba-tiba memecah kesadaran mereka. Mereka memang nampak sedikit linglung karena kelelahan.

Kendaraan roda empat yang mereka tumpangi membelah jalan yang tengah diguyur hujan. Satu di antara mereka sudah tertidur pulas, yakni lelaki yang benci dipanggil Ono.

"Fie.." Laras yang duduk paling belakang menyondongkan tubuhnya dan mencolek pundak Kafie.

Kafie sedikit menoleh. "Hm?"

"Kamu masih mikirin yang tadi?" Laras berbisik.

Kafie menyeringai, mengembuskan napas berat dan menunduk.

"Hey.. It's okay.. We made it anyway," Laras mencoba menghibur lelaki itu.

"Tapi itu bisa fatal. Beruntung kalian berdua mengerjakan tanpa cacat," Cicitnya.

"Sshhh.. Udah jangan gitu terus. Cukup jadikan acuan aja. Besok kita bisa jauh lebih maksimal, okay?"

Setelah hening beberapa saat, Kafie mengangguk. Kemudian ia membalikkan tubuhnya untuk melihat gadis itu lebih jelas.

"Makasih, Nay." Manik yang sempat meredup kembali berbinar. Bibirnya melengkung senyum, membuat dunia sang gadis berhenti untuk beberapa detik.

Aaarrghh aku ga suka nih begini begini
ψ(`-´)ψ
Tapi kan aku yang nulis ya....
....yaudahlah.

Dadah pembaca.
Sampai jumpa lagi.
Hiks.

WarmthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang