Kelompok Matematika

37 7 4
                                    

***

"Kenapa kamu pilih sekolah ini?" Obrolan santai di UKS terus berlanjut. Gadis itu memperhatikan pria di hadapannya yang terlihat sumringah sejak tadi. Antusias sekali berbagi cerita dengannya.

"Bukan saya yang pilih, tapi Baba. Kebetulan Baba jadi salah satu donatur di sekolah ini. Yaa gitu deh," Ujar Pria itu, yang kemudian menimbulkan senyuman geli dari Arum yang belum terbiasa mendengar Muizz menyebut 'Baba'. Rasanya itu terlalu imut untuk seorang pria macam Muizz.

Sekilas nampak tak ada yang aneh, namun pada kenyataannya Si Kekar itu berusaha menahan emosinya. Berbicara santai dengan Arum justru  membuat jantungnya berisik. Untung saja kegaduhan itu teredam oleh dialog antara mereka berdua.

"Oh.. I see," Arum manggut-manggut paham.

Suara knop pintu mengalihkan perhatian mereka. Sesaat setelah pintu terbuka, terlihat sosok pria berpenampilan urakan yang langsung heboh ketika mendapati Muizz dan Arum di dalam UKS.

"Tuhkan, Lih! Apa gue bilang, Muizz ada di sini! Gak salah gue dijuluki Fadli Sang Detektif handal," Ia langsung masuk begitu saja. Disusul Galih yang memasang wajah datar. Enggan menanggapi ke-halu-an Fadli yang mencuat ke permukaan.

"Loh? Tadi kan gue udah bilang mau susul Arum," Kalimat tersebut terlontar begitu saja. Muizz langsung menggigit bibirnya saat menyadari Ia keceplosan.

Arum yang turut sadar akan perkataan Muizz langsung menahan senyum. Ia memilih untuk pura-pura tidak tahu saja agar Muizz tidak merasa malu.

"Tau nih si Galih pikun. Mana heboh banget lagi," Fadli memilih duduk di ujung ranjang, dekat kaki Arum.

"Lo juga sama aja, Sat! Ah udahlah, lupain." Galih mendekat beberapa langkah. "Arum, udah mendingan?"

Gadis itu tersenyum manis dan mengangguk. Matanya masih terlihat sayu, bibirnya juga masih sangat pucat. Hanya saja sakit kepalanya sudah mereda.

"Syukurlah kalau gitu. Gue udah lapor Bu Sumi kalau lo sakit. Katanya maaf belum bisa nyamperin ke UKS soalnya Bu Sumi lagi ada keperluan mendesak," Tutur Galih.

"Iya gapapa," Arum membasahi bibirnya yang kering.

"Bro Muizz, MTK kita sekelompok ya? Please," Fadli tiba-tiba teringat dengan tugas kelompok Matematika. Ia memasang wajah imut yang dibuat-buat. Jika ada Hasan, sudah pasti mereka akan saling melempar ejekan.

"Oh.. Ada tugas kelompok?"  Muizz menatap Fadli dan Galih bergantian.

"Ada. Satu kelompok empat orang, tugasnya udah gue share juga di grup." Tutur Galih.

Mendengar soal tugas kelompok, Arum mendadak gelisah.
Karena jika anggota kelompoknya tidak ditentukan oleh guru, Ia agak sulit mencari orang yang mau satu kelompok dengannya. As you know, teman-teman Arum memang sudah berkubu.

"Dikumpulin kapan?" Kali ini Arum yang bertanya.

"Selasa," Jawaban Galih membuat Arum semakin gelisah. Sekarang sudah Hari Jumat. Ia harus segera mencari kelompok yang masih kekurangan anggota. Tangannya meraih ponsel di dekat kotak P3K.

"Kamu mau gabung sama saya dan Fadli?" Suara Muizz membuat Arum mengurungkan niat untuk menghubungi Nisa dan Dea yang barangkali masih bisa menampungnya di kelompok mereka.

Arum tersenyum lega. "Boleh,"

Muizz ikut tersenyum. Jalan modusnya seolah terbuka lebar. "OK. Satu lagi berati. Lo mau gabung juga, Lih?"

Galih menggeleng. "Gue udah dapet, Izz. Sorry,"

"Si Upil Badak aja, Izz. Dia mah kalau ada tugas kelompok pasti pengennya sama gue mulu. Padahal gue bosen, tapi terpaksa deh demi menyenangkan fans," Fadli berkata santai seraya meraih stetoskop yang ada di dekatnya. Muizz terkekeh karena tau yang dimaksud Fadli adalah Hasan.

"Yaudah kalau gitu gue balik dulu ke kelas ya. GWS, Arum." Galih pamit dan meninggalkan kelas setelah menerima anggukan dari Arum dan Muizz. Sedangkan Fadli tampak sibuk memainkan stetoskop dan tidak memedulikan kepergian Galih.

Arum kembali meraih ponselnya untuk melihat tugas yang diberikan.

"Soalnya lumayan banyak.." Gadis itu berkata dengan mata yang masih terfokus pada layar ponselnya.

"Oh ya? Mana coba saya liat," Muizz mendekat untuk ikut melihat layar ponsel Arum. Dekat sekali sampai rambutnya menyentuh pipi Arum.

Dapat tercium aroma maskulin yang lembut memasuki hidungnya. Ia refleks menatap Muizz.
Rasanya seperti melihat karya seni yang memukau.
Alis Muizz yang tebal dan rapi selaras dengan bulu mata lentiknya. Juga hidung mancung dan garis wajah yang tajam membuatnya terlihat sempurna.

Wah bener juga kata mereka. Kalau diperhatiin kayak gini Muizz mirip Zayn Malik.

Eh.. Ngaco.
Arum menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menepis jauh-jauh pikiran itu. Fadli yang tak sengaja melihat Arum memperhatikan Muizz mengukir senyum penuh arti.

"Hmm.. Iya lumayan banyak," Muizz kembali menarik tubuhnya.

"Kerja kelompoknya mau kapan dan di mana?" Arum kembali bertanya.

"Besok aja, libur kan. Tempat bebas asal ada makanan," Fadli menyahut.

"Weekend gue gak bisa, harus kerja. Paling Senin. Waktu istirahat atau sepulang sekolah," Sanggahan itu membuat perhatian Fadli terfokus sepenuhnya pada Muizz.

"Lo? Kerja?" Fadli menautkan alisnya heran.

Muizz mengangguk. Mata Fadli seketika membulat sempurna karena tak percaya.

Fadli yang mengetahui status sosial keluarga Muizz tentu tidak bisa tidak terkejut mendengar penuturan Muizz.

Ayah Muizz, Pak Soerja Koesoemaatmadja yang merupakan donatur terbesar sekolah ini memiliki perusahaan besar dengan puluhan anak perusahaan yang tersebar di dalam dan luar negeri serta saham yang tertanam dimana-mana. Belum lagi Muizz adalah seorang pewaris tunggal.

Dari alamat rumah Muizz saja seseorang bisa tahu bahwa Muizz anak yang bergelimang harta. Sebab tempat Muizz tinggal adalah kawasan elite yang hanya dihuni orang-orang yang kekayaannya tidak dapat diragukan.

Bahkan jika pria itu mau, mungkin bisa saja Ia berendam di bathub yang penuh dengan berlian setiap harinya. Jadi, untuk apa Anak Emas Koesoemaatmadja membuang-buang peluh?

"Seriusan lo ambil part time?" Fadli benar-benar tidak bisa mempercayai penuturan Muizz.

Muizz hanya menanggapi dengan senyum. Arum sedikit bingung dengan situasi ini. Ia tau Muizz orang kaya, tapi tidak mendetail seperti Fadli. Oleh karena itu keterkejutannya tidak separah Fadli.

"Senin aja ya? Sepulang sekolah, di perpus. Ntar biar gue bawa cemilan aja buat lo, Dli." Muizz terkekeh pelan. "Gimana?" Matanya menatap Fadli dan Arum bergantian.

Arum mengangguk setuju, sedangkan Fadli masih berusaha menenangkan dirinya dari keterkejutan yang ditimbulkan kembaran palsunya.

Haaiiiiaahh!! Sesuai janji aku post hari inii\( '3')/
Tak henti-henti aku ucapkan terima kasih untuk readers yang masih setia membaca WARMTH(^-^)>
Semoga kalian sehat selalu, dan selalu semangat menggapai mimpi~
Salam Literasi gengs!

Luv kedut-kedut dari aq♥

WarmthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang