بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمُ
Sorot pandangan Mirzan dengan perempuan yang kini sedang menatap balik tatapannya dengan penuh kalkulasi. Ia tepekur, masih rela perempuan tersebut menampakkan kembali raganya setelah ia mengucapkan umpatan yang mungkin saja bagi gadis tersebut sangat tak senonoh.
Senyum buaya sekali lagi ia berikan kepada gadis bermata bulat yang kini sedang duduk di kursi sembari menunggu pesanannya.
Pandangan Mirzan menelisik ke objek tersebut. Memperhatikan jemari milik gadis yang sekarang di atas pangkuannya, sesekali di remasnya. Seolah-olah, dirinya tahu sedang menjadi objek yang diawasi. Mirzan tersenyum. Perempuan yang dari kemarin mengusik pikirannya merasa gerogi.
"Lo kenal sama wanita yang gayanya kaya ibu-ibu itu?" Deli memecah keheningan dari mereka bertiga.
Mendengar hal itu Mirzan menhernyitkan dahinya sambil menggeleng. "Nggak mungkin gue kanal sama dia, cantik. Penampilannya aja buat mata terusik," kekehnya sembari mencolek dagu Deli yang berada di samping kirinya.
Yang bernama Deli pun mengangguk. Kepalanya ia sandarkan di bahu Mirzan, dan lelaki itu pun dengan senang hati merespon mengelus pelan rambut hitam Deli yang di ombre berwarna lavender dipadu berbentuk ikal.
Laki-laki yang duduk di sebelah kanan Mirzan pun mendengus, seakan-akan ia adalah nyamuk di sini. "Ih, jijik." Ia melirik arloji, "Zan, jam segini suka rame, udah berhenti dulu pacaran!"
Mirzan pun berdiri. Sepatutnya, ia tak mengambil pekerjaan yang tak pas dengan profesinya. Kalau Uninya tahu, Bundanya melihat pekerjaannya ini, mereka tak akan pernah menerimanya.
Siapa yang akan mau. Satu tahun yang lalu, dengan nilai IPK yang bagus serta mengambil bidang studi guru olahraga, lalu dengan suka hati dirinya menerima tawaran dari Dika menjadi tukang parkir serta lewat pekerjaan inilah ia ditemukan pertama kali dengan Miranda.
"Ustad Syawal, kok ada di sini?" Dahinya mengkerut, tak mengerti kenapa ketua Organisasi yang digelutinya berada di tempat ia mengajar.
"Ada urusan," jawab Syawal singkat sembari melambaikan tangannya ke arah Miranda.
Bibir Miranda mengembang sedikit, dilambaikannya pula tangan kanannya kepada lelaki yang berada di sebrang sana. Kakinya pun ia langkahkan ke kantin, waktunya jam istirahat. Sedari bangun tadi, ia tak memasukkan asupan makanan ke perutnya dan akibatnya cacing-cacing menagih jatah sarapan.
"Bude, nasi uduknya lima ribu," pesan Miranda sambil mengarahkan pupilnya ke tempat yang kosong. Kantin di sini tak terlalu banyak meja duduknya, terkadang pun hanya guru-guru yang makan di tempat.
Ditatapnya arah luar, cuaca yang cerah.
Langit yang seakan memberi makna dari sebuah mimpi yang tak akan terlepaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Heart Order To Love [SELESAI]
SpiritualMiranda tidak pernah menduga pertemuan pertama dengan lelaki itu akan seperti ini. Ditambah lagi lambat laun tumbuh perasaan yang memekar di hati. Lelaki itu Mirzan, seorang pribumi yang hidupnya luntang-lantung berhari-hari. Lelaki yang mudah putus...