Aku tak mampu lagi membayangkan ketika rindu tak pernah terbalas, saat hati telah bersinggungan, dan ketika asa telah di ujung pemberhentian. Namun aku hanya bisa bersandiwara, ketika ketetapan itu telah ada jalannya.
Selepas kembali dari stasiun yang tak berbuah apa-apa, Miranda hanya bisa tersenyum kecut. Menerima kenyataan bahwa: semua ini telah ada skenarionya. Terkait peristiwa yang tak diharapkan, akan tetapi menimbulkan sebuah keikhlasan.
Langit desa Lahat tak selamanya mendung, bukan? Begitu pun hatinya, tak akan selamanya murung. Namun juga terik matahari tak akan selamanya panas, tergantung manusia harus bisa menyesuaikan. Menyesuaikan keadaan yang terjadi dalam permasalahan di diri mereka sendiri.
Pakaiannya pun masih sama, namun kini Miranda telah berada di sekolah. Miranda telah duduk manis berhadapan langsung dengan wanita yang umurnya seperempat abad lebih tersebut. Bu Nurul--yang akan ia bimbing tersimpuh diam menatap dirinya dalam. Bagaimana tak heran, melihat kondisi Miranda yang berkeringat, pakaiannya lusuh, serta iris mata tersuruk melingkupi mimiknya.
"Bu Miranda," tegur Bu Nurul, yang masih tak dihiraukan oleh Miranda. Sepertinya Bu Nurul telah habis akal, wanita yang mempunyai tubuh tak simetris itu menyentil dahi Miranda.
"Aww ...," ringis Miranda seraya menggosok dahinya. "Ibu kok nyentil saya, kan sakit," rengek perempuan ini sambil memanyunkan bibirnya dengan kesal.
Bu Nurul tak mengubris kekesalan Miranda, bahkan wanita yang kerudungnya ia ikatkan di leher bersua pelan, "Neng-neng, dari tadi ngelamun terus. Jauh banget lamunannya, sampai panggilan ibuk nggak dipedulikan."
Miranda terkekeh ria, berpura-pura tegar dalam segudang gelisah. "Kebiasaan Miranda, Bu. Diingatkan terus ya, Bu."
"Hemm ... Dua bulan lagi 'kan puasa, neng. Nggak mau ngadain acara?"
Ya Allah, benar. Ia baru sadar bahwa dua bulan lagi umat islam akan menyambut datangnya bulan suci ramadhan. "Nanti pihak kami akan diskusi lagi, Bu. Atau Ibu punya saran nanti saya sampaikan kepada ketua pelaksana."
Tanggapan yang diberikan Bu Nurul hanya sunggingan yang tercetak di sudut bibirnya. "Ibuk juga belum kepikiran."
Seraya mendengkus pelan, Miranda dan bu Nurul masih dalam tahap sharing cerita tentang perkembangan pendidikan di desa ini.
Sejumput keadilan telah lengah di zaman peradaban. Dengan kesayuan semburat awan menahan gejolak kemerahan. Seolah ingin mekar tenggelam dalam angan. Kendati demikian, perubahan waktu harus dikerjakan. Mau tak mau, senja harus menampakkan keadaannya di hadapan bumi. Sebentar apapun itu. Karena kehadiran senja sangat di nanti-nanti oleh duduk pribumi.
Bibir Miranda mengerucut. Di hadapannya ada air terjun yang tenang dengan alirannya. Kini dirinya duduk di batu besar sembari memasukan kakinya di air yang mampu mendatangkan kehangatan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Heart Order To Love [SELESAI]
EspiritualMiranda tidak pernah menduga pertemuan pertama dengan lelaki itu akan seperti ini. Ditambah lagi lambat laun tumbuh perasaan yang memekar di hati. Lelaki itu Mirzan, seorang pribumi yang hidupnya luntang-lantung berhari-hari. Lelaki yang mudah putus...