Assalamu'alaikum.
Jangan jadi silent reader ya! Jangan lupa klik bintang dan komentarnya!
Pernah aku ingin menjadi satu-satunya bagimu. Namun setia itu bukan untukku
Pernah aku ingin bertemu lagi dari sekian waktu itu. Namun tak dipertemukan dalam titik temu.
Bi Idznillah, Shalihah
Perjuangan. Satu frasa yang telah menjadi bagian dari manusia. Yang akan berjumpa pada akhir berhasil atau kalah. Melanjutkan atau menyudahi. Lalu, apakah ia harus berjuang terlebih dahulu ketika Miranda kian menjauhi? Lalu, apakah ia harus memberi tahu dahulu saat Miranda masih semu terhadap masa lalu?
Sebenarnya Mirzan tak boleh menerima saja tawaran dari kakaknya, ketika diketahui perempuan yang ia kirim CV-nya itu adalah sahabat dekat Miranda.
Mirzan mematung tatkala menyaksikan iris mata yang memancarkan tersedu. Awalnya, ia hanya ingin mengambil secangkir kopi yang dititipkan pada Yuliana. Namun nyatanya mempertemukan pada dia. Miranda. Nama yang masih mengukir di balik do'a. Seseorang yang perlahan-lahan menjauhinya.
Setelah mendengar satu nama itu, Miranda pamit untuk keluar sebentar. Jika pun Rere mencurigainya, terserah ia hanya ingin menenangkan terlebih dahulu. Buliran cairan itu bertengger di pelupuk, memaksa ingin keluar membelai pipinya. Namun ditahan olehnya, Miranda seharusnya tak menyesal.
“Ada apa, Mir?” tanya Rere khawatir.
“Sesuatu tertinggal di motor. Aku ambil dulu, Re,” balasnya seraya membuang muka. Sebentar lagi, air mata itu memaksa keluar. Namun ketika ia akan melangkah di daun pintu berdiri lelaki itu. Laki-laki yang mengaduk pikirannya selama ini. Ya rabbi, hamba tahu ini salah.
“Miranda,” Mirzan berusaha menyangkal kepergian perempuan itu. Wajah sendu membingkai indah di sana. Miranda berhenti dari langkahnya, menunduk menyembunyikan muka. “Boleh aku bicara sebentar?”
Ia pun menengadah, memoles senyum sebagai sandiwara. Padahal sama saja, topeng itu tetap tak ada bedanya. “Tidak ada yang harus dibicarakan.” Tepat sekali. Gelar pengecut pantas menyandang di akhir namanya. Ia mengayunkan kakinya, membiarkan pelik itu menyatu padu dalam sanubari. Berlari terus saja, Miranda. Tidak ada yang harus diperjuangkan, bukan?
Realita menghadapi Mirzan, adalah ia harus mengikhlaskan. Awalnya, ia telah salah langkah. Seharusnya, Miranda bersikap acuh saja. Kebenarannya, Miranda tak boleh menaruh rasa. Semua itu ia yang menoreh luka, selama ini ia yang merajut cinta di hati bersama diam-diam yang menanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Heart Order To Love [SELESAI]
SpiritualMiranda tidak pernah menduga pertemuan pertama dengan lelaki itu akan seperti ini. Ditambah lagi lambat laun tumbuh perasaan yang memekar di hati. Lelaki itu Mirzan, seorang pribumi yang hidupnya luntang-lantung berhari-hari. Lelaki yang mudah putus...