Jangan lupa vote dan komen ❣️
Typo di mana-mana.Antara do'a dan takdir, sama-sama terikat untuk menghadirkan biru yang mengukir.
“Putusan atau qadha' Allah tidak bisa ditolak, kecuali dengan do'a. Tidak ada sesuatu yang bisa menambah umur, kecuali kebaikan atau Al-birr.”
(H.R Tirmidzi dan Hakim)
🍒
Do'a bagi orang mukmin adalah senjata dan obat yang paling ampuh. Keagungan do'a tidak dapat dipungkiri. Bahkan Allah Azza Wa Jalla berfirman,
وَ قَالَ رَ بُّكُمُ ا دْ عُوْ نِيْ أَ سْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Rabbmu berfirman: “Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.” (Ghāfir:60)Nampaknya Mirzan memijit pelipisnya, hidung mancung tersebut tak henti mendengkus. Manik matanya menatap lurus selembar kertas usang yang tertulis untaian kata. Saraf otaknya nampak bancuh, kalimat-kalimat itu mencampuradukkan pikiran yang berkecamuk.
Perempuan itu memilih pergi, bukan untuk melarikan diri. Tetapi untuk merelakan hati yang telah rapuh ini. Mirzan jelas tahu sekali, perempuan itu tak mau Rere tersakiti. Namun sepertinya luka itu telah berlebam kelain raga, yaitu dirinya.
Bukan ia tak mau menjadikan Rere satu-satunya, sebab semua itu butuh waktunya. Di mana melupakan dan mengikhlaskan tidak semudah melangkah ke depan.
Siapa kamu sebenarnya yang tak kukenal sekarang ini, lalu merangkap dalam jiwa Miranda?
Senyum itu tak pernah lagi menghampiri seolah kebas dan tak ada kehangatan lagi. Mirzan jatuh di tengah harmoni cinta itu. Apalagi disaat Miranda berita bahwa ia berubah hanya tentang mencintai yang tak hakiki. Seperti tak mengharapkan ridho illahi.
Tidak tahu sudah ke berapa kali ia selalu membaca surat dari Miranda. Seperti ada gerilya hangat menusuk jiwa ketika membaca selembar itu. Seakan rindu yang merongrong tersebut selalu berwarna abu.
Langit tak kelabu, namun sudah berapa hari hatinya kian membiru. Seperti manusia yang telah kehabisan harapan. Mirzan seharusnya melupakan saja, toh benar kata Miranda dalam suratnya jika memang mereka telah ditakdirkan maka tidak akan ada penghalang, bukan? Lalu entah mengapa perasaan Mirzan selalu rancuh seperti ini.
Kakinya mengayun ke pelataran masjid—yang diisi oleh anak-anak remaja masjid dan organisasinya. Di kesempatan kali ini, setelah dirinya tak dinyatakan sebagai ketua Pemuda Ke Masjid, namun diberi amanah sebagai HUMAS (Hubungan Masyarakat) membuatnya lebih aktif disosial kemasyarakatan. Ia harus turun tangan di lapangan.
Kornea matanya bersinar terang. Melihat banyak anak yatim berkumpul di sini menangkan sekali. Setelah kemarin menyambut bulan suci Ramadhan, organisasi yang bernaung dalam yayasannya ini berkeja ekstra untuk melakukan MaBiT (Malam Bina Takwa) yang dikhususkan pada remaja dan anak-anak yatim.
“Kak Mirzan tolong tarik ini.” Azhar yang sedang menarik spanduk untuk dipasang di atas pintu masuk sedikit kesulitan karena tak memakai tangga. Namun yang mengoordinasinya adalah Rere yang membuat Mirzan berpikir sejenak.
Semenjak pertengkaran hebat bersama Miranda menjadikan mereka tak saling sapa. Walau dalam satu tugas atau pekerjaan yang sama, baik Mirzan maupun Rere seolah tak menganggap ada. Usai namanya dipanggil oleh Azhar, terbukti Rere meninggalkan instruksinya dan melenggang pergi begitu saja.
Yuliana pun tak mengungkit-ungkit lagi tentang kelanjutan ta'aruf mereka. Atau memang ingin menangkan diri masing-masing dahulu atau selesai begitu saja, Mirzan masih tak mengerti. Yang hanya ia tahu, semua nampak buram begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Heart Order To Love [SELESAI]
SpiritualitéMiranda tidak pernah menduga pertemuan pertama dengan lelaki itu akan seperti ini. Ditambah lagi lambat laun tumbuh perasaan yang memekar di hati. Lelaki itu Mirzan, seorang pribumi yang hidupnya luntang-lantung berhari-hari. Lelaki yang mudah putus...