2

2.7K 277 1
                                    


"Mau magang dimana,bi?"

Aku menoleh---menatap Minghao yang masih asik mengotak-atik kameranya. Oh iya. Aku jadi lupa soal magang. Masuk ke fakultas fotografi memang impianku dari dulu. Tapi aku nggak pernah kepikiran akan kerja dimana setelah kuliahku selesai. "Ada saran?" tanyaku sambil menarik napasku dalam.

Dari ujung mataku, aku bisa melihat Minghao berpikir. Beberapa hari yang lalu, dia sempat curhat tentang pekerjaan magangnya. Minghao magang di salah satu studio foto kecil di pusat kota. Dia bercerita tentang susahnya menyesuaikan diri dari setiap kritik atasannya. Dan dia seketika membuatku takut memilih keputusan untuk kerja atau nggak.

"Kenapa nggak coba cari di internet? Atau tanya-tanya ke temen lo yang kerja di agensi-agensi gitu?" Minghao menyedot ice cappucinonya. Aku mengangguk paham---mencoba memikirkan sarannya yang mungkin sedikit membantu. Tapi, aku jadi ingat suatu hal.

Kalau aku magang di agensinya Jungkook, bukannya itu bagus?

■ ■ ■

"Hwang. Kamu gila?"

Respon Jungkook sama sekali nggak sesuai dengan dugaanku. Dia menolak seratus persen begitu aku bilang kalau aku berniat untuk magang di agensinya. Aku menundukkan pandanganku. Jungkook jelas-jelas menutupi hubunganku dengannya di depan siapapun.

Jungkook berdiri di depanku sambil tak hentinya mendecak keras. Aku bisa mendengar derap kakinya berjalan ke arah kamar---kalau perkiraanku gak salah, pasti Jungkook lagi mengambil rokoknya. Dia akan merokok di depanku habis-habisan kalau dia lagi marah atau banyak pikiran.

Aku memang bodoh karena nggak melarangnya berhenti merokok. Lebih tepatnya, aku nggak berani. Aku pernah sekali melarang dan membuang rokoknya. Dan yang terjadi adalah, Jungkook memarahiku bahkan sempat membakar salah satu kartu memori kameraku. Untungnya, isi kartu memorinya nggak begitu penting. Tapi sama aja. Dia nggak menghargai kerja kerasku kalau begitu caranya.

"Jeon," panggilku begitu Jungkook sudah menghisap satu batang rokoknya di depanku. Dia cuman melirik dan melanjutkan aktivitasnya. Aku menghela napas dan menahan lengan kanannya. Jungkook sedikit mencoba meloloskan dirinya dari genggamanku.

"Aku janji nggak akan deket sama kamu. Tapi please." Aku nggak menatap matanya. Karena aku yakin, tatapan matanya sangat mematikan sekarang ini. Jungkook menghela napas dan menahan bahuku. Dengan tiba-tiba saja, air mataku turun. Aku terlalu sensitif belakangan ini. Padahal sedari tadi, aku berusaha keras untuk tetap menahan tangisku---sampai akhirnya tumpah juga.

Jungkook mempersempit jarak wajahku dengan wajahnya. "Sekali enggak tetap enggak," kata Jungkook sambil berjalan menjauhiku dan pergi ke dapur. Aku masih berdiam diri di tempat.

Aku sama sekali nggak peduli dengan izin Jungkook. Aku tidak pernah mengatur kehidupan masa depan Jungkook, tapi kenapa Jungkook melakukannya padaku dengan sangat mudah? Biarkan aku egois kali ini saja. Kehidupanku bukan Jungkook saja.

Aku berjalan menuju kamarku dan meraih laptop di atas meja belajarku. Aku jarang menggunakan laptop kecuali ada tugas yang mengharuskannya. Dan kali ini, aku sedang mencari tahu nomor telepon kantor agensi Jungkook---Big Hit Entertainment. Begitu sudah mendapatkannya, aku segera menyimpannya di dalam ponselku.

Aku harus sudah siap dengan resiko 'Pembakaran memory card kameraku', dan jutaan cacian Jungkook yang pasti akan dilontarkan padaku. Aku berjalan keluar kamar begitu selesai mematikan kembali laptopku.

"Mau delivery makanan apa lagi?"

Jungkook nggak menjawab pertanyaanku dan tetap asik bermain game tembak-tembakan di ponselnya. Kalau habis berdebat dengannya, dia pasti selalu seperti ini---kalau ujungnya aku yang kalah. "Jeon."

Dia sama sekali tidak bergeming. Aku cuman bisa menghela napas dan meraih ponselku untuk memesan sashimi dan ayam goreng tepung favorit Jungkook.

"Aku udah pesenin makan, Jeon." Aku melempar ponselku ke sofa dan duduk disampingnya. Jungkook masih sama---asik dengan dunianya sendiri.

Chu

Aku memberanikan diri untuk mencium pipinya. Semoga ini berhasil bikin Jungkook nggak marah lagi padaku. Jungkook tiba-tiba menoleh ke arahku dengan wajah merahnya. Menggemaskan tapi sayangnya dia bukan milikku sepenuhnya. "Hwang, kamu---"

Chu

Aku mengecup bibirnya singkat. "Maaf?" ucapku sambil mengusap pipinya pelan. Satu detik selanjutnya, Jungkook meraih tengkukku dan mencium bibirku lembut. Setelah beberapa detik bibir kita saling bertautan, Jungkook memundurkan wajahnya karena kehabisan napas.

Aku tertawa. "Jangan marah,Jeon."

"Gimana aku bisa marah kalau kamu nyium aku kayak tadi?"

"Kamu nggak jawab panggilan aku,sih."

"Ceritanya kan aku lagi marah."

Ting!

Layar ponsel Jungkook menyala. Menampilkan sebuah pop-up pesan yang masih bisa aku lihat. Sebuah notifikasi dari LINE.

Eunha Jung💋 now
"Kookie."
"Aku butuh bantuanmu sekarang."
"Ini penting. Banget."

Aku refleks memandang wajah Jungkook yang tengah mengusap wajahnya kasar. "Sayan---"

"Pergi aja,Jeon. Aku bisa makan sendiri nanti." Aku tersenyum. Lebih terlihat dipaksakan. Jungkook mencium pelan dahiku lalu berdiri dan berjalan menuju kamar untuk mengambil jaket dan topinya.

Setelah terdengar suara pintu tertutup dan memastikan kalau Jungkook sudah pergi, aku menatap ruang tengah yang terlihat lebih luas tanpa kehadirannya. Aku menghembuskan napas perlahan.

Seharusnya aku sadar dari awal, kalau aku bukan prioritasnya.

✔️photograph ; sinb + jungkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang