5

1.9K 267 4
                                    


"Jeon?"

Jungkook menarik lenganku dan menjauh dari Jeonghan. Aku mencoba meloloskan tanganku dari genggamannya---tapi rasanya terlalu sulit karena tenaganya dua kali lipat dari tenagaku.

"J-Jeon lepasin." Aku mulai merintih karena genggaman tangan Jungkook menguat. Dia memberhentikan langkahnya begitu sampai di depan mobilnya. Jungkook nggak memandangku---dia sibuk mengatur napasnya. "Kamu ngapain disini?" tanya Jungkook mengintrogasi. Padahal, seharusnya aku yang nanya begitu.

"Ternyata dibelakang gue, lo kayak gini ya?" tanya Jungkook lagi. Pertanyaannya barusan membuatku agak kesal. Bagaimana dia bisa menyimpulkan sesuatu cuman dengan satu kejadian? "Maksudnya apa?" Aku mengerutkan dahi---merasa nggak terima dengan ucapannya.

Jungkook mengalihkan pandangannya sambil mendecak keras. Dia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan satu kotak rokok. Aku sontak meraih kotak rokoknya dan menjatuhkannya ke bawah. "Aku nanya. Maksudnya apa? Jawab dulu," kataku sedikit meninggikan suaraku.

Jungkook menatapku tajam---mungkin dia marah karena aku menjatuhkan rokoknya. "Pura-pura nggak ngerti atau gimana sih? Lo sama mantan lo---rangkulan. Lo selingkuh?" Aku tahu pasti Jungkook marah besar kali ini. Dia sudah memanggilku 'lo', berarti dia memang sudah marah besar. Aku nggak bisa menyangkalnya.

"Kamu aja jadiin aku selingkuhan. Masa aku nggak boleh cari selingkuhan juga?"

Jungkook diam. Tapi matanya masih sama---tatapan membunuh. "Eunbi."

Aku mengedikkan dagu. "Kenapa? Aku salah lagi?" tanyaku menantang---padahal aku takut setengah mati. Dia bahkan nggak memanggilku 'Hwang' lagi.

"Lo bukan selingkuhan," kata Jungkook penuh penekanan.

Terus apa kalau bukan selingkuhan?

"Gue nggak pernah nganggep lo selingkuhan,bi." Jungkook melanjutkan. Tapi suaranya melemah.

Aku menitikkan air mata sedikit---mengingat soal perkataan Sowon tadi. Jadi, aku harus pilih yang mana? Aku bahkan nggak bisa egois soal perasaanku sendiri. Aku harus tetap mikirin perasaan Eunha. Bagaimana rasanya ada di posisi dia.

Tapi aku juga nggak siap kehilangan Jungkook. Aku yang mulai mencintainya sejak dia menuduhku anak dibawah umur---malam itu. Aku yang jatuh cinta pada setiap perlakuan manisnya---meski aku tahu, dia juga melakukannya pada Eunha.

Kalau aku pergi, kenapa dia seolah ngasih harapan?
Dan kalau aku bertahan, kenapa rasanya sakit?

"Jungkook." Pertama kalinya aku memanggil namanya. Rasanya kaku dan agak asing. Tapi aku harus terbiasa akan hal ini. Karena seterusnya, aku akan memanggilnya seperti ini. Nggak ada lagi panggilan 'Jeon' untuknya.

Jungkook menatapku sendu. Matanya seolah memberikan kode, jangan-katakan-hal-yang-menyedihkan. Tapi aku nggak menerima kodenya. Aku harus tetap mengatakan ini.

"Kita berhenti sampai sini." Aku menahan napasku.

Mata Jungkook mendadak sayu. Dia nggak bisa berkata apa-apa kelihatannya. Sepertinya, aku harus segera menjelaskannya---sebelum dia menyalahkan hal yang lain. Jeonghan, misalnya.

"Nikahin Eunha."

Aku kecewa dengan diriku sendiri karena mengatakan itu. Jungkook menghela napas panjang lalu sebelah tangannya meraih tangan kananku. "Aku sayang sama kamu, Hwang."

"Tapi kamu juga sayang sama Eunha, Jeon. Aku nggak bisa bayangin gimana rasanya jadi Eunha kalau tau tentang hubungan kita. Aku nggak bisa bayangin gimana hancurnya dia." Air mataku turun lebih deras.

"Dia yang selalu ada buat kamu, Jeon. Bukan aku."
"Dia selalu punya senyuman yang cantik buat kamu. Bukan aku."
"Dia bahkan nggak pernah curiga sedikitpun sama kamu, padahal dia ngerasa kamu jauh."
"Eunha punya terlalu banyak kelebihan kalau harus disandingin sama aku,Jeon."

Aku meremas ujung bajuku. "Kita sampai sini, Jeon Jungkook."

Jungkook melepas genggamannya pada tanganku dan dia menarik pinggangku---memelukku erat. Aku bisa merasakan pundakku basah. Jungkook menangis---dan itu membuatku hancur.

Aku mengelus punggungnya. Di tengah hembusan angin malam Sungai Han, aku melepasnya. Melepas Jungkook dan segala kenangannya. "Jangan nakal, Jeon." Jungkook mengeratkan pelukannya. "J-Jangan pernah ngerokok lagi." Aku selalu menitikkan air mata di setiap ujung kalimatku.

Aku perlahan melepaskan pelukanku dan menatap mata Jungkook yang basah. Dia terlihat tiga kali lebih lemah dari Jungkook yang biasanya. Aku mengelus pipinya---seraya menyeka air matanya yang masih turun.

"Semoga kamu bahagia. Sampai bertemu lagi."

Aku berlari meninggalkannya.

■ ■ ■

"Kamu nggak makan lagi?"

Suara itu sedikit melengking sekarang. Tapi aku nggak peduli---aku nggak punya nafsu makan sedikit pun sejak malam itu. Bahkan aku lupa caranya makan. Aku lupa bagaimana rasanya makanan enak. Terlalu larut dalam sebuah sakit hati yang membekas---aku cuman tau rasa itu.

Sowon duduk di pinggiran kasur. Dia mengelus surai kecoklatanku lembut. "Eunbi-ya. Dengan nggak makan, bukan berarti rasa sakitnya sembuh."

"Kamu mau aku cariin cowok?" tanya Sowon sambil tertawa. Tawa Sowon bahkan terdengar manis---pantas saja Seokjin selalu ada untuknya. Aku menggeleng sambil tersenyum. Ini senyuman pertamaku setelah tiga hari berturut-turut aku nggak berekspresi sama sekali.

"Mau cowok kayak gimana? Botak? Pesek? atau gendut?" Sowon merangkulku.

"Apa sih, eonnie! Enggaaaaaak."

Setidaknya aku bisa melupakan setengah dari rasa sakitku sekarang.

✔️photograph ; sinb + jungkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang