23

1.6K 195 4
                                    


"Eunbi, Jungkook ada di depan."

Jujur, Eunbi sangat lelah mendengar kalimat itu. Kenapa lelaki itu tak berhenti mengunjunginya? Seharusnya jika ia pintar, ia sudah bisa sadar kalau Eunbi sudah tidak ingin bertemu lagi dengannya. "Kenapa datang terus,sih? Gue capek ngusirnya." Minhyun mendecak lalu pergi ke kamarnya setelah menghampiri Eunbi yang tengah terduduk di kursi ruang tv.

Eunbi menghela napas sebelum ia benar-benar membulatkan tekadnya untuk bertemu Jungkook hari ini. Hari ini saja. Sekali ini dan tidak akan lagi.

Eunbi mendorong roda kursi rodanya dan perlahan mendekati pintu utama rumah. Sebelum tangannya menarik pegangan pintu, Eunbi menghela napas panjang. Ia sungguh di takutkan oleh keadaan dimana Jungkook akan membuatnya semakin jatuh cinta.

Ingatlah, Hwang Eunbi. Laki-laki itu telah menyakitimu berkali-kali.

Perlahan, tangannya mulai menarik pegangan pintu dan matanya langsung menangkap sosok yang ia hindari sejak beberapa minggu yang lalu. Wajah lelaki itu kusut. Ditambah kantung matanya yang hitam, membuatnya lebih terlihat seperti zombie.

Mata Jungkook terbuka lebar saat ia menyadari bahwa yang membuka pintu adalah Eunbi. Bukan Minhyun atau Moonbin. Dan ia sangat tidak menyangka akan hal itu. Menunggu untuk bertemu Eunbi selama berminggu-minggu lamanya akhirnya terbayar dengan sempurna.

"Hwang." Jungkook menghela napas lega dan ia tersenyum bahagia.

"Ada apa? Kalau gak pentin-"

Jungkook berjongkok---menyamakan tinggi dengan Eunbi yang duduk di kursi roda. Sebelah lengannya memegang dinding guna menopang tubuhnya. "Aku--ekhm." Ia berdeham sebelum mulai bicara. Menatap mata Eunbi kali ini menjadi suatu kelemahannya. Karena sebelum itu, menatap mata Eunbi adalah hobi baginya. Seakan obat dan penerang hidupnya yang redup.

"Maaf." Satu kata yang refleks membuat Jungkook menunduk. Tak lama, pipinya mulai basah karena buliran itu turun. Iya, Jungkook menangis.

Sedangkan Eunbi masih diam. Tidak percaya kalau Jungkook benar-benar menangis untuk kesekian kali di depannya. Benar, Jungkook memang sesalah itu. Memang seharusnya ia menangis dan menyesali segala perbuatannya. Tapi, bukankah ini terlalu sering?

"Maaf karena seharusnya aku gak gini."

Jungkook berlutut. Masih dengan posisi kepala yang menunduk, suara isakannya mulai terdengar. Meski pelan, tapi menyakitkan. Tangan yang bertumpu pada dinding kini bergetar dan mulai terlepas. Ia menyeka air matanya sebentar lalu mulai bicara lagi.

"Maaf aku terlalu gila karena gak mau kehilangan kamu lagi."

Pertahanan Eunbi mulai hancur. Kalimat yang berubah seratus delapan puluh derajat lebih menusuk saat diucapkan Jungkook. Eunbi tidak benar-benar ingin pergi. Sejauh apapun hatinya akan merantau mencari yang lain, tidak ada satupun tempat singgah yang senyaman Jungkook. Tidak ada dan tidak akan pernah ia temukan.

Tangan Jungkook meraih tangan Eunbi yang tepat berada di depan matanya. Iya mengelus punggung tangan Eunbi perlahan, dan ajaibnya, Eunbi tidak menepis itu. Ia membiarkan Jungkook melakukannya tanpa merengek atau mendecak sekalipun. Kenyataannya, ia juga nyaman jikalau Jungkook melakukannya.

"Maaf, Hwang Eunbi. Maaf aku ngancurin hidup kamu."

Jungkook menarik tangan Eunbi dan menciumnya tenang. Eunbi merasakan kalau tangannya mulai basah, Jungkook betul-betul menangis separah itu. Sedetik kemudian, gadis itu menunduk. Ikut terisak dan hal itu membuat Jungkook mendongak dengan matanya yang merah.

Ia menangkup pipi Eunbi dengan kedua tangannya. "Jangan nangis." Dengan suara parau yang dipaksakan bicara, Jungkook tetap berusaha menghentikan tangis gadis yang di hadapannya. Hatinya akan semakin hancur setiap kali gadis itu terisak. Ia akan semakin tenggelam dalam rasa bersalah yang tak kunjung pudar.

Eunbi menggeleng pelan. Ia menunduk dengan tangan Jungkook yang masih menangkup pipinya.

Dalam satu kali kedipan mata, Jungkook langsung meraih tengkuk Eunbi dan memeluknya. Ia membiarkan gadis itu menangis di pundaknya. Jungkook menutup mata. Kapan terakhir ia merasakan pelukan setenang ini?

"Aku sayang kamu. Selalu."

■ ■ ■

Secangkir kopi susu hangat di tengah mendungnya senja memang sangat cocok kan?

Moonbin menegakkan tubuhnya. "Ada apa,bang? Tumbenan banget minta ketemu berdua."

"Jungkook dateng lagi ke rumah," kata Minhyun sambil menghela napas panjang. Alih-alih mendecak sebal, Moonbin malah tersenyum lebar. Memperlihatkan deretan gigi putih dan eyesmile andalan miliknya. "Oh,ya? Terus gimana? Eunbi mau ketemu?"

Minhyun mengerutkan dahi. Pasalnya, ia benar-benar tahu kalau Moonbin menyimpan perasaan pada adiknya. Tapi kenapa responnya seakan kalau Moonbin menyutujui hubungan Eunbi dan Jungkook? Beberapa hari yang lalu pula, Moonbin bercerita kalau ia bertengkar dengan Jungkook. Dan rasa bencinya luntur dalam beberapa minggu saja?

Minhyun memijat pelipisnya pelan. Kenapa urusan percintaan jaman sekarang begitu rumit? "Gue rasa, Eunbi baikan sama Jungkook kemarin."

"Bagus,dong?" Lagi-lagi, Moonbin menjawab enteng. Wajahnya sama sekali tidak kecewa dan tidak menunjukan kalau sebenarnya ia sangat mencintai gadis itu. Garis wajah Minhyun berubah tegas. Tatapannya mengintrogasi. Ternyata menjadi Eunbi yang mengurus semua masalah ini sendirian bukan hal yang mudah.

"Bin? Gue tau lo suka sama Eunbi."

Moonbin tidak mengelak, ia mengangguk cepat. "First love gue, malahan."

"Terus? Lo rela Jungkook ngambil alih Eunbi lagi?"

Moonbin tersenyum tenang. Ia menunduk dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sebenarnya malu untuk bicara tentang ini, namun bagaimana lagi? Ini faktanya dan ia harus terima.

"Ya, gimana ya bang? Eunbi cintanya sama Jungkook. Gue memang ditakdirin cuman buat jadi sahabatnya doang. Lo juga seharusnya udah sadar dan tau kalau Eunbi memang gak punya perasaan ke gue kan,bang? Jadi buat apa gue harus gak rela kalau Eunbi balik lagi sama Jungkook? Mereka saling cinta, gak lucu banget kalau gue tiba-tiba muncul diantara mereka dengan catatan gue yang duluan suka sama Eunbi sejak kecil, sedangkan mereka sama-sama cinta dan sama-sama berjuang malah nggak bisa bareng-bareng?"

Moonbin tersenyum tulus. Sama sekali tidak ada unsur kepaksaan dalam penjelasannya barusan. Terkadang, level tertinggi dalam mencintai bisa jadi  merelakannya dengan yang lain. Meski tidak mudah, tapi rasanya akan sangat bahagia kalau melihatnya bahagia. Rasanya akan sangat tenang kalau melihatnya tertawa walaupun bukan kita alasannya.

"Gue bahagia di posisi ini kok, bang. Jadi orang belakang layar atas tanggung jawab membuat Eunbi bahagia. Setidaknya, gue pernah jadi alasan setitik senyum yang ada di bibirnya."

Minhyun bungkam. Terpesona sekaligus terharu karena masih ada lelaki yang sangat menyayangi adiknya---selain dirinya---sampai tingkatan ini. Rasa sayang Moonbin bukan main-main. Bukan lelucon sesaat yang kemudian akan hilang. Siapapun yang akan menjadi pendampingnya nanti, Hwang Eunbi akan selalu punya tempat spesial di hatinya.

"Eh," Moonbin menoleh ke arah arlojinya. "Gue duluan ya,bang. Sebentar lagi gue praktek." Ia memakai kembali coat coklat ķrem yang membalut tubuh atletis berjas dokter itu.

Minhyun otomatis berdiri. Ia mengangguk dan menepuk bahu Moonbin sebelum Moonbin meninggalkan meja. "Oh iya, salam buat Eunbi. Kita nggak jadi ipar-an deh, bang."





=====
kayak biasa, aku gabisa up cepet karena lagi sibuk sekolah huhu mohon pengertiannyaaaa:)))


✔️photograph ; sinb + jungkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang