Part 24

5.6K 388 61
                                    


Dilla tampak duduk termenung di atas kasurnya sambil memegangi kakinya yang memar tetapi sudah tidak sakit lagi. Wanita itu menghela napasnya saat ingat Arro yang banyak andil dalam menyembuhkan kakinya. Ya, pria itu secara rutin mengompres kakinya dengan air hangat dan memberinya salep. Bukannya merasa bahagia, Dilla jadi merasa bingung. Satu sisi dia merasa bahagia, tetapi di sisi lain hatinya juga hancur mengingat kejadian di mal 3 hari yang lalu. Dia sudah mencoba untuk tidak mempercayai semuanya, tetapi entahlah, melihat betapa dekatnya mereka, membuat hati kecilnya meragu. Dilla mengusap wajahnya kasar, lalu beranjak menuju kamar mandi.

Tok. Tok...tok

“Masuk,” teriak Dilla dari kamar mandi.

“Bunda sudah siap?”

“Iya sebentar lagi bunda siap, Askah.”

“Kami tunggu di meja makan ya, bunda?”

“Iya.”

Dilla segera keluar dari kamar mandi setelah menyelesaikan ritual mandinya. Dilla keluar kamar mandi hanya dengan sekembar handuk yang melilit di tubuhnya. Dilla menarik acak sebuah celana dan kemeja. Dilla segera bersiap, dia tidak mau telat datang ke restoran setelah beberapa kali melewatkan hari istimewa restorannya itu. Dilla termenung melihat ke arah kedua kakinya. Dia merasa takjub karena tak merasakan sakit sama sekali ketika kakinya itu terluka. Nyatanya sakit yang di rasakan hatinya lebih mendominasi dari pada sakit yang dirasakan oleh kakinya. Dilla menutup matanya sejenak saat bayangan kejadian di mal kembali melintas di benaknya. Dia menghembuskan nafasnya kasar, dia lalu memakai sepatu ketsnya saat sadar dirinya sudah terlalu lama bersiap.

“Ayah tidak ikut kami ke restoran?” Askha langsung bertanya saat melihat Arro bersiap dengan baju kerjanya.

“Ayah tidak bisa ikut, maaf. Ada yang harus ayah selesaikan di kantor.” Jawab Arro tergesa sambil merapikan penampilannya.

“Apa ada masalah, ayah?” giliran Atha yang bertanya saat melihat gurat-gurat serius yang coba lelaki itu sembunyikan darinya.

“Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Hanya masalah biasa.” Jawab Arro sambil tersenyum, agar terlihat lebih tenang. Tetapi senyumnya itu terlalu terlihat dipaksakan.

“Ayah yakin? Sebab beberapa terakhir ini Azza dan mas Ryan selalu lembur. Bahkan mereka baru pulang setelah 2 hari mereka menginap di kantor.” Affa mengangkat alisnya saat melihat tubuh ayahnya sedikit menegang.

“Ayah, ayah jangan menyembunyikan apa pun dari. Ayah bisa cerita dengan kami jika ayah ada masalah di kantor. Kami pasti akan membantu ayah semampu kami.” Arro tersenyum mendengar ucapan Aidar. Hatinya merasa menghangat saat mendapat perhatian dari anak kembar Dilla.

Arro melangkah ke arah Atha, Affa, Aidar, dan Askha dengan senyum merekah di bibirnya. Aura kebapakannya semakin terlihat ketika dia tersenyum ke arah si kembar. “Iya, ayah pasti akan bercerita ke kalian jika ada masalah yang serius.” Arro merangkul ke empat putra kembar Dilla dengan senyum yang semakin terkembang.

“Mana bunda kalian?” Arro baru menyadari jika Dilla tidak ada di antara mereka.

“Bunda masih di kamar. Huh, wanita dan segala alat make up mereka.” Jawab Atha malas, membuat Arro dan saudaranya tertawa.

“Kalian harus bisa membiasakan diri, Son.”

“Kami sudah lebih dari biasa, jika ayah tahu.” Arro terkekeh mendengar gerutukan Atha yang terkenal paling dingin di antara mereka.

“Dan jika ayah lupa, kami selama ini tinggal dengan dua wanita, ayah.” Timpal Askha jengah saat ingat bagaimana lamanya ibu dan saudara perempuan mereka saat bersiap-siap.

Tap. Tap. Tap.

Mereka sontak mendongak saat mendengar langkah seseorang menuruni tangga. Arro mematung seketika saat melihat siapa yang sedang menuruni tangga tersebut. Tampak Dilla melangkah dengan anggun menuruni setiap anak tangga. Penampilannya hari ini benar-benar terlihat sangat fresh.

Baju kemeja tipis berwarna putih sebatas pinggul di padukan dengan celana jeans hitam panjang yang dilipat keluar menjadi setengah tiang, di tambah dengan sepasang sepatu kets berwarna hitam putih dan tas selempang kecil berwarna hitam terlihat sangat pas di tubuh mungil Dilla. Rambut hitam panjang lewat pinggulnya itu di urainya dengan rapi dengan tatanan belah samping, dengan sedikit curly di ujungnya. Membuatnya terlihat semakin cantik dan lebih muda.

Tanpa sadar Arro melangkah ke arah Dilla, membuat wanita itu gugup dan salah tingkah. Seakan tahu dengan keadaan yang ada, Atha dan saudaranya lebih memilih pergi terlebih dahulu, mereka tidak ingin mengganggu kedekatan kedua orang tua mereka. Sedangkan Dilla semakin memundurkan langkahnya saat melihat Arro yang semakin dekat. Dilla sudah akan membalik badannya sebelum akhirnya Arro lebih dulu memerangkap dirinya di antara pagar tangga dan tubuh pria itu sendiri.

“Kamu selalu bisa membuatku jatuh cinta padamu lagi dan lagi, Qee.” Bisik Arro tepat di depan bibir Dilla yang hampir tak berjarak dengan bibirnya.

“Qee?” tanya Dilla lirih. Dada Dilla tampak naik turun karena intimnya mereka. Wajahnya tampak memerah saat merasakan nafas hangat Arro menerpa wajahnya, aroma mint dari nafas Arro membuat gejolak dalam dirinya perlahan mulai bangkit.

“Ya. Qee atau Queen. Aku mulai sekarang akan memanggil kamu Qee, aku panggil dari nama tengah kamu, sayang. Karena, kamu adalah Ratu dalam hatiku, Shaqeena.” Wajah Dilla semakin bersemu merah mendengar ucapan Arro. “Aku selalu senang melihatmu merona karena diriku.” Goda Arro sambil mengelus pelan pipi Dilla. “Apa lagi, saat melihat seluruh tubuhmu merona saat kamu sedang di bawahku. Benar benar membuatku semakin bergairah.” Bisik Arro serak di telinga Dilla, membuat nafas Dilla semakin tercekat.

“Eunggh” Dilla melenguh saat Arro mengulum pelan cuping telinganya. Dilla meremas jas yang dikenakan Arro saat merasakan sapuan lidah hangat di sekitar daun telinganya hingga ke leher.

“Ar, kita sudah telat.” Ucap Dilla terengah-engah saat matanya tak sengaja melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 07:30.

“Sialan.” Arro memundurkan tubuhnya dan mengumpat pelan saat sadar dia harus ke kantor karena ada masalah. Ryan sudah memberitahunya tentang masalah ini tadi pagi, saat Ryan baru pulang dari kantor bersama Azza. Jika Ryan sudah memberitahunya seperti ini, itu berarti masalahnya memang sangat serius. “Kamu benar, kita sudah telat. Tetapi, tidak akan pernah ada kata telat untukku mencintaimu selalu.” Arro langsung mencium pelan bibir Dilla setelah menyelesaikan ucapannya.

Dilla merapikan kembali penampilannya setelah Arro melepaskan ciuman mereka dengan wajah yang sudah sangat memerah. “Kamu tidak pakai dasi?” Dilla langsung bertanya saat menyadari jika Arro belum mengenakan dasinya.

“Akh!” Dilla menjerit pelan saat Arro kembali menarik tubuhnya semakin rapat dengan tubuh hangat pria itu.

“Aku sengaja tidak memakainya karena aku ingin kamu yang memakainya.” Kata Arro pelan dengan di akhiri sebuah kecupan kecil di pipi Dilla.

“Kalau begitu, kita harus cepat memasang dasi kamu, supaya kita tidak semakin telat.” ucap Dilla pelan agar tak terlihat gugup. Dilla bernafas lega saat bisa mendorong tubuh Arro, sehingga dia bisa menjauh dari Arro. Karena berdekatan dengan Arro dan mendengarkan segala ucapan manis Arro dalam waktu yang lama dapat mempengaruhi kerja jantungnya.

Crumbs Of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang