Part 25

6.9K 445 53
                                    

Saya datang lagi...
Adakah yang kangen saya?? Hehe
Selamat membaca semua nya, makasih banyak ya udah mw nungguin cerita aku...
Jangan lupa ya tolong koreksikan typo ny...

Arro memijat belakang lehernya yang terasa kaku. Sudah hampir 4 jam dia membaca dan memahami berkas-berkas yang ada di hadapannya saat ini, dan hasilnya tetap sama. Bahkan jika Arro membolak balik kertas-kertas itu hingga robek, kenyataan yang tertulis di atas kertas itu tidak akan berubah.

"Ya ampun, bagaimana bisa ini terjadi?" Arro menggumam frustrasi. Di dalam berkas itu tertulis jika perusahaannya mengalami kerugian besar. Proyek besar yang sedang dikerjakannya mengalami kendala. Lahan sebesar 40.000 hektar yang sudah di pilihnya bersama clientnya ternyata berada di daerah sengketa. Akibatnya proyek besar yang sudah menghabiskan banyak dana itu tidak dapat di kerjakan, dan itu benar-benar membuat perusahaannya merugi sangat besar.

Arro melepas jasnya dan melonggarkan ikatan dasi yang terasa mencekik lehernya. Pria itu menyugar kasar helaian rambutnya, mencoba untuk mengurasi rasa frustrasi tang di rasakannya. Dia beranjak dari kursi kebesarannya, berjalan menuju ke arah jendela kaca yang langsung memperlihatkan keindahan kota.

"Kalau memang ini perbuatan kamu," batin Arro, "kamu benar-benar sudah kelewat batas. Tetapi, aku tidak akan pernah menegurmu. Nyatanya aku memang akan selalu mengalah denganmu." Pandangan Arro menerawang jauh, mengingat tentang seseorang yang berada di dekatnya, tetapi terasa jauh, terpisahkan jurang yang tak kasat mata.

****

"Enak."

"Terima kasih, mbak."

"Iya, sama-sama. Kamu belajar dengan siapa sampai bisa membuat camilan seenak ini?"

"Saya di ajari oleh nenek saya, mbak. Kue ini biasanya hanya ada di acara-acara penting dan acara adat saja. Tetapi karena hari ini ulang tahun saya, jadi saya membuatnya untuk teman-teman, dan kata mereka ibu dan anak ibu suka datang kalau hari Jum'at begini, jadi saya sisihkan untuk ibu dan anak ibu juga ."

“La,” Dilla menoleh saat mendengar namanya di panggil.

“Ya, Pak Rahmat?” Dilla bangkit dari duduknya di ikuti oleh Naima, karyawan restoran yang tadi memberinya camilan madu mangsa dan wajik Bandung. Pak Rahmat dan Dilla mengangguk dengan senyum terkembang saat Naima pamit undur diri. “Ada apa, Pak?”

“Pangeran hati kamu datang, tuh.” Dahi Dilla mengerut saat mendengar jawaban pak Rahmat.

“Pangeran?”

“Iya, pangeran kamu, si Arro.” Tawa pak Rahmat pecah saat melihat wajah melongo Dilla. “Sudah temui sana. Tadi Bapak liat mukanya kusut banget, seperti sedang ada masalah.” Lanjut pak Rahmat dengan tersenyum hangat.

“Aish... bapak ini.” Dilla mengentakkan kakinya ketika dia meninggalkan pak Rahmat.

“Dilla... Dilla...” pak Rahmat hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Dilla yang masih saja kekanakan.

Ceklek

Dilla membuka pelan pintu ruangannya. Dan benar saja, ada Arro di dalam ruangannya. Pria itu tengah membaringkan badannya di atas sofa dengan mata tertutup lengan. Penampilannya tidak bisa di bilang rapi, tetapi tidak juga berantakan. Dia meletakkan kotak camilannya di atas mejanya lalu menghampiri Arro dan bersimpuh di samping sofa.

Dilla mengamati wajah Arro yang hanya terlihat separuh, meski begitu wajah pria itu tetap terlihat tampan, rahangnya terlihat kuat dan tegas, bulu-bulu halus di sekitar rahangnya membuatnya semakin dewasa dan matang. Otot-otot yang tercetak jelas di balik kemejanya benar-benar membuatnya terlihat hot, membuat setiap wanita ingin meremas otot-otot tersebut.

Crumbs Of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang