Di tahun pertama pernikahan ini, adalah tahun yang mendebarkan bagi Shena. Karena sampai sekarang dia belum juga dikaruniai malaikat kecil di rahimnya.Takut dan was-was, takut kalau ternyata dia tidak bisa memberi kebahagiaan yang lengkap di keluarga kecilnya.
Alfardo dan Shena kini sedang berada di kamar mereka. Alfa duduk bersandar pada di kepala ranjang, sedangkan Shena bersandar pada bahu suaminya.
Shena memulai pembicaraan mereka, "Mas, bagaimana jika ternyata aku tidak bisa memberikan anak untukmu?"
"Kita menikah baru satu tahun, mungkin belum saatnya kita diberi kepercayaan untuk menjaga malaikat kecil di tengah-tengah keluarga kita," Alfardo menjawab pertanyaan Shena sambil mengecup kecil puncak kepalanya. "Bagaimanapun nanti kedepannya, biarpun selamanya kita tidak dikaruniai anak, aku akan tetap berada di sampingmu, lagian kita bisa mengadopsi anak seandainya kamu tidak bisa mengandung."
"Aku mencintaimu bukan karena fisikmu, aku mencintaimu karena kamu adalah kamu bagaimanapun kamu aku tetap mencintaimu."
Shena memandang bola mata suaminya, mencari kebohongan di setiap ucapannya, tapi yang ia dapati tatapan kesungguhan yang terpancar di mata suaminya.
"Aku juga mencintaimu, Mas." Shena memeluk suaminya.
Alfardo mengusap kepala Shena dengan mesra."Lalu bagaimana dengan Ayah dan Bunda, Mas?" ada nada kekhawatiran yang Shena ungkapkan. "Apa mereka bisa menerima, seandainya aku tidak bisa memberi cucu kepada mereka?"
"Kamu hanya dibayangi rasa takutmu sendiri sayang, sekarang istirahatkan tubuh dan pikiranmu, jangan berpikir apa yang belum tentu terjadi, itu akan membuatmu lebih takut lagi."
Alfardo merebahkan tubuh istrinya, mengecup kening istrinya kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka.
"Selamat tidur, Istriku."
"Selamat tidur juga, Mas."
***
Seperti biasa, Shena bangun lebih awal dari suaminya. Dia bangun lebih dulu untuk menyiapkan sarapan bagi keluarganya sebelum semua memulai aktifitas bekerja kecuali Shena.
Semenjak menikah, Alfa melarang istrinya bekerja. Shena yang ingin menjadi ibu rumah tangga seutuhnya pun menuruti apa yang dikatakan suaminya.
Shena bangun dan bergegas ke kamar mandi untuk melakukan ritual membersihkan diri. Setelah selesai ia bergegas menuju ke dapur. Membuka kulkas melihat persediaan bahan makanan untuk dimasak pagi ini.
"Ah, seperti aku membuat nasi goreng saja pagi ini, masih ada sisa nasi semalam," Shena bergumam lirih.
Shena mengambil bumbu, sayuran dan telur untuk campuran nasi gorengnya nanti.
Setelah ritual memasak hampir selesai, seluruh keluarga sudah siap di meja makan dekat dapur.
"Selamat pagi, Nak," Ayah dan Bunda serempak menyapa Shena.
"Selamat pagi ,Ayah, Bunda,"membalas sapaan kedua mertua nya. "Ayah , Bunda, duduk dulu di ruang makan, sebentar lagi Shena selesai membuat sarapan."
"Selamat pagi, Sayang," Alfardo mengecup sekilas sudut bibir istrinya.
Shena menyikut kecil perut suaminya, "Ih, malu mas dilihat ayah, bunda," bisik Shena sambil menunduk malu. Alfardo terkekeh melihat rona malu istrinya.
"Tidak apa, Sayang. Bunda dan Ayah dulu juga pernah muda seperti kalian," kata Risma membuat Shena bertambah malu.
Sarman, Risma dan Alfardo kembali duduk di kursi masing-masing. Sarman duduk di bagian kepala meja, Risma di sebelah kanan, sedangkan Alfardo di sebelah kiri dan kursi kosong di sebelahnya adalah tempat duduk untuk Shena.
Shena datang dengan wadah yang berisi nasi goreng buatannya," mari kita mulai sarapannya, sebelum Ayah dan Mas terlambat bekerja," Shena meletakan nasi goreng di tengah meja.
Risma dengan cekatan menyiapkan nasi goreng ke piring suaminya, begitupun juga Shena.
Suasana sarapan yang hening, hanya bunyi sendok dan piring yang saling beradu. Beginilah suasana makan di keluarga Sarman. Dia tidak mengizinkan berbicara di saat menyantap makanan.
"Aku sudah selesai," Alfardo bersuara setelah meneguk segelas air putih yang disediakan istrinya.
"Aku juga sudah selesai." Shena ikut bersuara saat nasi goreng di hadapannya sudah habis berpindah ke perutnya.
Ayah, Bunda juga sudah selesai," kata mereka.
"Mas, nanti siang aku bolehkah keluar dengan Arini?" Shena bertanya kepada suaminya saat mereka berada di ambang pintu keluar rumah menghantar suaminya berangkat kerja.
"Kemana?" Alfardo balik bertanya.
"Hanya makan siang, mungkin juga jalan ke mall sebentar, boleh?" jawab Shena.
"Boleh," Alfardo mengiyakan pertanyaan istrinya. "Asal jangan terlalu lelah, dan ingat jaga diri baik-baik, aku tahu kamu ceroboh, jika ada sesuatu segera hubungi mas!" pesan Alfardo.
"Siap kapten!" seru Shena girang.
"Ya sudah, Mas berangkat kerja dulu, ingat hubungi mas jika terjadi sesuatu," Alfardo mencium puncak kepala istrinya.
Shena mengambil telapak tangan Alfardo kemudian menciumnya. Begitulah ritual yang dilakukan suami istri ini sebelum Alfardo berangkat kerja.
"Assalamualaikum," pamit Alfardo.
"Waalaikumsalam, hati-hati Mas," kata Shena.
Alfardo melangkah menuju mobil dan berangkat kerja.
Shena berdiri di depan pintu menunggu hingga suaminya keluar pintu gerbang rumah.
"Alfa sudah berangkat , Nak?" tanya Sarman yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya membuat Shena terkejut.
"Sudah ,Ayah, baru saja keluar gerbang," jawab shena.
Ya sudah Ayah juga mau berangkat dulu, takut telat.
"Asalamualaikum."
"Waalaikumsalam ayah, hati-hati."
Shena kembali kedalam rumah, menutup pintu dan menguncinya. Dia bergegas ke dapur dan membereskan meja makan sisa sarapan mereka.
Saat sudah sampai di dapur, Shena tidak melihat Bundanya di sana."Mungkin bunda di kamarnya," gumam shena.
Setelah selesai membereskan dapur, Shena bergegas menuju kamarnya untuk membersihkan diri dari keringat.
Tapi belum sampai di kamar, Risma memanggilnya untuk duduk di ruang keluarga.
"Shena, ada yang ingin bunda bicarakan, duduk sini," pinta Risma
Shena melangkah menghampiri bundanya, "Ada apa, Bun?" tanya Shena penasaran.
Shena duduk tepat di sebelah Risma di sofa.
"Bunda harap kamu tidak marah sama bunda," ujar Risma sambil menggenggam tangan Shena.
"Kenapa bunda bicara seperti itu, sebenarnya ada apa bunda?" tanya Shena gelisah.
"Bunda ingin mengajakmu ke dokter kandungan kenalan bunda, kita periksakan kandunganmu," ujar Risma lirih dan hati-hati takut melukai perasaan menantunya.
Shena menunduk, wajahnya berubah sendu.
"Maafkan bunda sayang, Bunda tidak bermaksud melukaimu, bunda hanya ingin memastikan kandunganmu baik-baik saja," ujar Risma sambil mengelus lengan menantunya.
"Kalian tidak menunda untuk memiliki anak kan?" tanya Risma memastikan.
Shena menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan mertuanya.
"Kalau begitu, besok kita ke dokter ya, kita periksakan disana ada masalah atau tidak dengan kandunganmu biar lebih jelas," bujuk Risma.
Shena masih tetap menunduk, tapi kini ada setitik air mata yang jatuh.
Ini pembicaraan yang sensitif menurutnya. Dia perempuan. Dia juga ingin segera punya anak. Tapi apa yang bisa diperbuatnya saat belum diberi kepercayaan, sedangkan dia dan suaminya terus berusaha.#bersambung
******
Happy reading..

KAMU SEDANG MEMBACA
BADAI PERNIKAHAN (End)
Lãng mạnJika takdir berkata kita tak bisa lagi bersama, maka aku berharap digariskan pada takdir yang indah. (Shena) *Keseluruhan isi cerita belum di edit.