Assalamualaikum, semoga masih ada yang ingat cerita gajeku ini. Maaf sebelumnya sudah lama banget menggagtung cerita🙏🏻🙏🏻. Dari pualng kampung sampai sekarang hampir 4 bulan. Sebagai pengobat rindu aku posting sedikit hari ini. Semoga bisa lancar lagi nulisnya🙏🏻🙏🏻.
Terima kasih yang masih tetap setia baca dan menunggu kelanjutan BP. Maaf untuk semua komentar aku tidak bisa balas satu per satu. Terima kasih atas dukungan para pembaca. Tanpa kalian aku bukan apa apa.
Sekalian aku juga mau promo novel kumpulan cerpen dengan tema "Ibu" yang ditulis oleh 25 orang salah satunya aku. Selama PO harga 70rb belum termasuk ongkir hingga 27 desember 2018. Harga normal 75rb
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pemesanan bisa melalui akun FBku "Purwanti Pratama" photo profil bunga mawar merah, ya🙏🏻. Atau bisa PM langsung di WP ini. Kami memiliki marketer squad dibeberapa daerah agar ongkir lebih murah.
Cukup sudah kiranya aku berpromosi😁☺️. Silakan obati kerinduan kalian pada Shena.
*** Setiap orang pasti pernah mengukir sebuah kenangan indah sampai tidak akan bisa terlupakan. Tapi, setiap manusia juga pernah berbuat salah dalam hidupnya.
Lalu, bagaimana cara menciptakan kebahagiaan itu terus ada sampai akhir nanti? Tanpa menyesali kesalahan di masa lalu.
Akankan bisa dia mengukir kembali kehidupan baru bersama Shena setelah ribuan pisau Alfa sayatkan di relung hatinya?
Andai saja dia tidak menuruti hasrat hati, mungkin kini masih hidup bahagia bersama Shena.
*** Alfa mengawasi rumah Shena hampir satu jam. Dia belum juga melihat Shena untuk mengobati rasa rindunya meski dari kejauhan.
Tanpa memperhitungkan apapun. Alfa berjalan selangkah demi selangkah menuju rumah Shena. Sempat muncul keraguan untuk menemui saat ia sudah berdiri tepat di depan pintu.
"Tak ada salahnya mencoba," monolognya.
Pada ketukan ketiga, pintu rumah terbuka. Tampak Shena yang terlihat berpakaian rapi berdiri di hadapannya. Alfa menarik senyum tipis.
"Mas," ucap Shena lirih, terkejut.
Shena tidak menyangka yang berdiri di hadapannya kini adalah mantan suami. Sejak ketuk palu di pengadilan enam bulan yang lalu, mereka tidak pernah bertemu lagi. Namun, tanpa sepengetahuan Shena, Alfa sering memperhatikan ia dari kejauhan.
Alfa mengepalkan kedua tangannya mendengar jawaban Shena. Ada rasa tak rela saat mantan istrinya makan siang bersama pria lain.
"Kalau begitu lain kali saja aku berkunjung," ucap Alfa.
"Tapi, Shena harap Mas tidak usah berkunjung ke sini lagi. Aku tidak mau jadi bahan gunjingan warga sekitar!" Shena berkata tegas.
"Baiklah, aku pamit."
Baru beberapa langkah, Alfa kembali berucap, "Kalau ada waktu, datanglah ke rumah Ayah dan Bunda merindukanmu." Aku juga merindukanmu, namun kalimat itu hanya mampu Alfa ucapkan dalam hati.
"Nanti Shena hubungi Ayah dan Bunda."
Setelah mengucapkan salam, Alfa melangkah menuju mobil yang ia parkirkan di seberang jalan rumah Shena.
"Aaargh!" Dicengkeramnya kuat kuat sisi kemudi, menggeram bak singa yang sedang kelaparan.
"Sial, sial, sial!" Sesalnya. Kepala terasa sakit seperti akan pecah dan bisa meledak sewaktu waktu.
"Shena ...," gumamnya. Setetes air mata lolos.
"Sudah tidak adakah kesempatan untuk kita bersama lagi? Aku menyesal! Maafkan kesalahanku." Alfa meluapkan kegundahan hatinya sendiri.
Alfa yang masih belum beranjak dari seberang rumah Shena, disuguhkan dengan pemandangan yang menohok hatinya. Shena dan Raditya tampak berbincang dan tertawa bersama. Hingga mereka berdua pergi, tak terlihat lagi.
Melihat mereka sedekat itu, dada Alfa terasa sesak sama ketika ia dilarang datang ke rumah Shena.
Apa aku masih bisa mendapatkanmu lagi, Shena? Batin Alfa.
*** "Sebenarnya kita mau kemana sih, Raditya?" ucap Shena jengkel. Sejak tadi ia sama sekali tidak diberitahukan kemana tujuan mereka.
"Nanti juga kamu akan tahu. Tenang saja aku tidak akan membuangmu." Raditya berkata sambil terkekeh.
Shena menatap tajam Raditya dan berkata, "Jawab kita mau kemana, atau aku lompat sekarang juga!"
"Tapi kamu jangan marah, ya? Aku tidak meminta persetujuanmu terlebih dahulu." Raditya berkata tanpa menoleh. Pandangannya lurus ke depan.
"Apa, Raditya! Jangan bikin aku penasaran."
"Kita sekarang menuju rumahku. Aku ingin mengenalkanmu pada orang tuaku," ucap Raditya hati hati.