Part 10

52.5K 2.1K 127
                                    



Alfa berbaring gelisah di tempat tidurnya. Masih teringat jelas wajah sendu sang istri ketika melepas cincin pernikahan mereka.

Kemarin, setelah kepergian Shena ia berniat mengejar sang istri namun ditahan oleh Rina. Alfa hanya duduk terdiam, tidak habis pikir dengan apa yang sudah ia lakukan kepada sang istri. Mengeram memandang sekilas Rina kemudian beranjak pergi tanpa sepatah katapun.

Di tempat lain.
Di dalam kamar  Shena menangis di pelukan Arini. Meluapkan rasa sesak yang sedari tadi ia tahan.

"Berakhir ... pernikahan ini selesai, Rin. Aku memberinya kesempatan tapi ia memilih melepaskanku," ucap Shena terisak.

Arini memeluk Shena dengan erat. Membelai punggung Shena dan membisikan kata penenang. Membiarkan Sahabatnya meluapkan sakit hatinya. Hanya hari ini, Arini berjanji hanya hari ini ia biarkan Shena menangis sepuasnya.

"Menangislah sepuasmu, tapi janji besok jangan menangis lagi," ujar Arini dijawab anggukan oleh Shena.

"Apa salahku, Rin? Kenapa ia tega menusukku?" tanya Shena sambil melepaskan pelukan mereka. "Sakit, Rin."

"Kamu tidak salah, tapi Alfa yang tidak bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang pura-pura," ujar Arini. "Lihat matamu jadi bengkak, hidungmu merah seperti badut, astaga buruk sekali penampilanmu," ejek Arini. Bukan mengejek sesungguhnya ia hanya berusaha menghibur Shena. Shena yang merasa terejek reflek memukul ringan tangan sahabatnya.

"Shena, jangan pernah menanggung bebanmu sendiri. Ada aku dan Dewo yang siap membantumu," ujar Arini. "Lupakan kesakitanmu dan mulailah dengan membuka hidup yang baru."

Shena tersenyum tipis masih dengan  sesenggukan kemudian mengangguk-anggukan kepala sebagai respon akan ucapan sahabatnya.

"Sekarang istirahat, tidurlah, aku selalu menjagamu," ujar Arini kemudian beranjak keluar kamar Shena.

Shena membuka laci di samping tempat tidurnya, mengambil buku bersampul hitam. Ia ingin menuliskan isi hatinya sebelum tidur.

~~~
Aku berusaha memahami, berusaha mengerti, aku berusaha mengikhlaskan apa yang harus terjadi.

Aku bisa selama mau berjuang.
Luka ini akan sembuh seiring dengan kebahagiaan yang hadir.

Karena cinta itu sulit dimengerti.
Mempunyai awal yang tak disangka dan akhir yang tak pernah terpikirkan.

Aku masih disini dengan segala penantian. Menanti datangnya waktu dimana aku tak lagi mencintaimu.

Jika takdir berkata kita memang tak bisa lagi bersama, aku berharap digariskan pada takdir yang indah.

~~~

Shena menutup buku dan mengembalikan ke tempat  semula setelah selesai menulis. Merebahkan tubuh terlentang menghadap langit-langit kamar. Shena menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan.

"Aku percaya padamu, tapi kenapa kamu menyakitiku? Kebersamaan kita selama ini ternyata tidak bisa membuatmu memilihku," monolog Shena.

***
Alfa sedang menyantap sarapan pagi bersama kedua orang tuanya. Namun sejak sarapan dihidangkan di piring,  Alfa hanya mengaduk tanpa menyentuhnya sedikitpun. Wajah lesu tanpa semangat. Kedua orang tuanya sedikit heran dengan perubahan mood anaknya.

"Ada masalah di tempat kerja? Kenapa wajahmu terlihat lesu, Alfa?" Bunda Risma memberanikan diri bertanya. "Kapan kamu jemput Shena? Bunda udah kangen  nanti pulang kerja kamu jemput, ingat."

Alfa hanya menganggukan kepala sebagai jawaban. Bagaimana ia bisa menjemput dan mengajak pulang Shena kalau kenyataannya mereka sedang dalam masalah.

Drrtt ... drrtt ... drrttt

Handphone Alfa yang ia letakkan diatas meja  makan bergetar menandakan ada panggilan masuk. Alfa melihat sekilas siapa gerangan si penelpon, tertera nama Rina di layar.

"Alfa terima telpon dulu Pa, Ma," pamit Alfa.

Membawa handphone menjauh dari ruang makan. Panggilan pertama terabaikan. Datang panggilan kedua, Alfa segera menjawab.

"Hallo, Rin," ucap Alfa singkat.

"Hallo ... Alfa kenapa suaramu terdengar lesu?" tanya Rina di seberang sana.

"Kita sudah berakhir, Rin. Aku melepasmu." ujar Alfa.

"Kamu mengakhiri hubungan kita, Mas? Kamu sudah memilihku dan melepaskan istrimu kemarin, kenapa sekarang kamu juga melepasku?" tanya Rina tak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Aku ingin memperbaiki pernikahanku, aku dan kamu tidak seharusnya melakukan ini, hubungan kita adalah kesalahan," ucap Alfa.

"Aku tidak ingin menyakitimu lebih jauh lagi, jadi kita akhiri saja semua. Ini yang terbaik untuk kita. Aku harap kamu mengerti," ucap Alfa pelan.

"Kamu jahat, Mas. Aku menyesal pernah mencintaimu. Semoga istrimu tidak akan pernah menerimamu lagi," ujar Rina dengan tangisnya kemudian mengakhiri panggilan telepon sepihak.

Alfa menghela nafas, ia sudah memutuskan untuk berbicara lagi dengan Shena. Mengambil kesempatan yang Shena tawarkan. Memulai dari awal di tempat yang baru. Alfa tersenyum sendiri Membayangkan ia dan Shena hidup bahagia.

****
"Kamu yakin mau bikin kue terus titip di warung-warung?" tanya Arini sedikit ragu dengan keputusan Shena.

"Iya, aku yakin. Buat tambah penghasilan. Tidak mungkin kan aku bergantung sama kamu terus? Aku juga ingin punya tabungan," ucap Shena sambil tersenyum memperlihatkan barisan giginya. "Kamu tidak mendukung keputusanku?"

"Kenapa tidak melamar kerja di perusahaan?"

"Aku ingin membuka usaha sendiri, sedikit tabunganku masih cukup untuk modal bikin kue kecil-kecilan," ucap Shena antusias.

"Aku selalu mendukungmu, asal kamu tetap menjadi Shena yang ceria dan tersenyum riang setiap hari," ujar Arini sambil menarik kedua sudut bibir Shena membentuk senyuman.

"Aku sudah memikirkannya semalam."

"Kamu tidak tidur semalaman?" mata Arini membulat kaget.

"Bukan, maksudku aku memikirkannya sebelum tidur. Sekarang titip jual dulu ke warung tetangga, kalau sudah cukup modal aku ingin buka toko kue, toko impianku dulu," Shena berkata lirih.

Seketika ia mengingat janji Alfa dulu yang akan membangun toko kue untuk dirinya. Shena menggelengkan kepala mencoba menghalau pikirannya saat ini.

"Kenapa geleng-geleng kepala? Kamu pusing?" alis Arini berkerut memperhatikan sahabatnya.

"Aku baik-baik saja, hanya teringat mas Alfa," wajah Shena terlihat sendu.

"Aku tidak akan memaksamu untuk melupakannya. Aku tahu semua itu butuh waktu, tapi belajarlah untuk tidak memikirkannya, bisa?"

"Akan aku coba, hanya butuh waktu untukku terbiasa dengan keadaan ini," senyum menghiasi wajah Shena.

"Semoga tidak ada lagi yang menjadi kesakitan untukmu," Arini tersenyum memandang Shena. "Seberapa dalam luka yang kamu dapat, tetaplah tersenyum karena aku yakin di luar sana ada orang yang ikut bahagia hanya melihat senyummu."

Tok ... tok ... tok

Suara ketukan pintu mengakhiri pembicaraan kedua sahabat. Shena hendak beranjak namun ditahan oleh Arini, "Biar aku aja yang buka pintu."

Mata Arini membulat saat melihat siapa yang berdiri tepat di hadapannya. Mengepalkan kedua tangannya menahan emosi yang siap meledak saat itu juga. Menarik nafas dalam lalu menghembuskan kasar. Bersiap melontarkan kata-kata kasar untuk mengusir manusia di hadapannya saat ini. Namun belum juga sepatah kata terlontar dari bibirnya, ia dikagetkan dengan suara Shena.

"Siapa yang datang, Ar? lama banget di depan pintunya?" tanya Shena menghampiri sahabatnya. Shena terpaku. Diam ditempat. Kakinya berat untuk melangkah begitu tahu siapa yang berada di depan pintu.

#Bersambung

Happy reading 😘😘

Terima kasih untuk readers yang sudah mau mampir membaca tulisanku. Jangan lupa tekan bintang dan komentarnya😘😘😍

BADAI PERNIKAHAN (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang