Chapter 22

723 44 2
                                    

If it's me.
And if it's you.
And if our love is wrong.
Then I don't ever wanna be right.
I don't ever wanna be right.


If it's real.
And if it's true.
And if our love is wrong.
Then I don't ever wanna be right.
I don't ever wanna be right.

Calum Scott – If Our Love Is Wrong playing...

"Aku mengerti mengapa kau membenciku. Kau memang pantas membenciku. Aku yang menghancurkan semua mimpi kita."

"Lupakan segalanya, akupun akan melupakanmu."

"Aku mohon beri aku kesempatan kedua."

"Aku sudah pernah memberikan kesempatan pertama untuk hatiku, tapi dikecewakan. Ini kesempatan kedua untuk hatiku dan kau yang kini mematahkannya."

"Aku menyerah pada takdir."

"Dhyaaa.. aku mohon."

"Pergi Damien, dan carilah kebahagiaanmu."

Damien terbangun dari mimpi buruknya, air matanya menetes deras mengingat mimpi yang baru saja mengganggu tidurnya. Kehilangan Dhya adalah hal yang sangat ia takuti, dan kini semuanya terasa dihadapannya. Damien akan kehilangan Dhya, bukan karena Dicky merebutnya tetapi Damien yang melepaskan Dhya begitu saja.

Ting.. Ting.. Ting..

Sebuah email masuk ke smartphone nya Damien, email dari gedung yang sudah Damien bayar DP untuk pesta pernikahannya, email dari Diagold Jewelry dan beberapa email lain tentang persiapan pernikahannya.

"Pesanan dibatalkan oleh Mrs. Dhya Lavaniya Januardi."

Begitulah isi dari seluruh email yang Damien dapat pagi hari ini.

DEG !!!

Seluruh persiapan pernikahan yang sudah sampai 70% Dhya batalkan begitu saja. Air matanya kembali menetes dengan deras, mimpi yang baru saja ia alami ternyata menjadi kenyataan.

Dhya meninggalkan Damien.

Damien yang baru terbangun langsung membasuh wajahnya, hingga ia sampai depan pintu kamarnya ia terjatuh. Damien tak mampu mengangkat tubuhnhya lagi. Lemas, sama seperti Damien beberapa bulan lalu, sama seperti ketika Damien tengah lumpuh.

Airmatanya terus mengalir, mengingat setiap kebersamaannya dengan Dhya, pandangannya mengedarkan keseluruh penjuru rumah dimana setiap sudutnya mengingatkan Damien akan Dhya. Dhyanya, yang mengembalikan warna dalam hidupnya. Kini Dhya tak ada lagi.

"Damien.. "

"Damien.."

"Ada apa nak?" Ucap tante Annie.

"Aku tidak bisa bangun ma, kakiku lemas."

Tidak lama, seluruh saudara kandung Damien datang dan membantu Damien untuk berdiri, membopong Damien keatas kasurnya lagi dan meminta penjelasan atas apa yang terjadi. Damienpun menceritakan semuanya, semua kejadian sejak 4 hari lalu yang sudah mengubah hidupnya.

Bram yang mendengar semuanya hanya tertawa, bahkan terbahak-bahak. Sedangkan Alice, Alice menangis, membayangkan kalau dirinya diposisi Dhya akan sangat menyakitkan. Semua orang menyalahkan Damien, tak terkecuali mamanya Damien. Damien pun menyadari bahwa semua kesalahannya, kesalahan terbesarnya.

"Panggilkan dokter, sekarang Damien harus pergi kedokter." Ucap mama Annie.

***

Keadaan Damien semakin buruk, bahkan tidak satupun makanan yang mampu ia telan selama seminggu ini. Air putihpun hanya dicicipinya saja tidak diteguknya. Damien kembali duduk dalam kursi rodanya, bukan karena mengidap paraplegia lagi hanya saja sejak kejadian itu Damien memang tidak meiliki tenaga lagi. Tidak usah berjalan, Damien bahkan tidak mampu mengangkat sendok.

Penampakan Damien sangat mengkhawatirkan, matanya cekung menghitam, tulang rahang yang tercetak jelas, bibir yang kering bahkan kulit Damien seperti bersisik. Mukidi yang melihat Damien pun memperlihatkan wajah kasihannya, karena kebahagiaan yang hendak Damien dapatkan musnah.

Kriingg..

"Ya, saya."

"Baiklah, akan saya berikan susu almond itu, seberapa banyak racun yang harus saya berikan."

"Baiklah."

Mukidi mematikan teleponnya, dan bergegas kearah dapur menyeduh susu almond yang sudah Dhya packing dalam kemasan kecil sekali minum, karena orang rumah tidak mampu membuat susu almond dengan takaran yang pas seperti Dhya. Jadi, semenjak Dhya berhenti menjadi perawat Damien, semua sudah Dhya persiapkan.

Mukidi bertemu dengan seseorang didapur, orang ini memasukan bubuk putih kedalam susu yang Mukidi buat. Tidak terlalu banyak, tetapi mungkin itu racun yang mematikan. Kemudian orang itu pergi lagi meninggalkan Mukidi yang sedang mengocek susu.

"Kita akan saksikan kematiannya dan mendapatkan keuntungan." Ucap pria itu pada Mukidi.

Dibalik jendela, Lavenya melihat apa yang kedua orang itu lakukan. Lavenya memanggil Will yang tengah bermain bola dengan adik-adiknya. Disaat yang sama, Venya hanya bertatapan dengan Will dengan bingung.

"Mengapa Uncle sangat mencurigakan?" ucap keduanya.

***

"Ini susu almond anda pak." Ucap mukidi dengan tangan yang bergetar.

Mukidi menggaruk-garuk tangannya karena tadi susu yang ia bawa sempat tumpah sedikit karena bola yang Will tendang mengenai kakinya hingga mengganggu keseimbangan Mukidi.

Sayangnya target Venya dan Will untuk menumpahkan susu itu tidak berhasil, hanya tumpah sebagian. Keduanya, berlarian mencari Bram yang saat itu tengah berada dirumah salah satu pasiennya. Venya yang gemetaran mencari Luciana, mamanya, ketika tidak menemukan sang papa.

Luciana yang saat itu tengah ditaman bersama Alice memetik mawar-mawar untuk ditaruh diruang keluargapun tersontak melihat Venya yang berlari ketakutan.

"Ada apa, sayang?" Ucap Luciana sambil memposisikan poni Venya putrinya yang berantakan akibat berlarian tadi.

"Dimana papa, ma?"

"Papa sedang mengunjungi pasiennya, ada apa?"

"Suruh papa pulang, aku takut sesuatu terjadi pada om Damien."

"Om Damien tidak apa-apa. Lagipula ada Om Richard dan Uncle Jo kan. Pasien papa sedang butuh papa."

"Aku bersumpah, jika mama tidak menelpon papa sekarang dan kalau papa tidak segera pulang, kalian akan menyesal." Ucap Venya terengah-engah.

"Iya, tante, Will mohon." Ucap will menambahkan demi meyakinkan Luciana, Luciana yang awalnya tidak menggubris pun tiba-tiba menjadi tak enak hati.

"Kenapa keponakan om sangat ketakutan?" Ucap Richard yang hadir dadri balik semak-semak karena dirinya baru saja menanam sebuah ginseng yang ia bawa dari Korea.

"Om, aku mohon telepon Papa, suruh papa pulang saat ini juga."

"Tapi ada..."

"Papa kan sedang kerja, kenapa kalian meminta papa kalian untuk pulang?" Ucap Dicky yang datang dari arah gerbang.

"Uncle..."

Tubuh keduanya bergetar, tidak mampu menatap Dicky, Dickypun heran mengapa kedua anak yang sudah ia anggap keponakannya ini seakan takut oleh Dicky.

Tidak berapa lama, Alice mendengar putri kecilnya menangis dan langsung menghampirinya tergesa-gesa ke lantai atas. Alice, masih bingung mengapa kedua keponakannya setakut itu pada Dicky. Padahal sudah lama mereka tidak bertemu dengan Dicky, dan kenapa mereka butuh mas Bram.

Ada apa dengan Damien?

Alice yang menggendong putri kecilnya dari balkon atas menatap kumpulan manusia ditaman rumahnya, Luciana masih belum menelpon Bram juga sepertinya karena ia tidak menggenggam ponsel, dan ponselnya ada diruang TV.

Pandangan Alice pun berubah, ia memicingkan matanya lekat-lekat menatap sosok yang ia kenal dibalik semak-semak. Sosok itu yang membuat Lavenya dan William bergetar ketakutan, sosok itu menatap tajam pada kedua anak kecil itu.

Ya, bukan Dicky alasan kedua keponakannya ketakutan.

Tetapi...

ul#

DLJ Love Story, an inspiration to love againTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang