8. Dan

70.7K 9K 282
                                    

Bacanya sambil dengerin lagu Dan—Sheila on 7 dan jangan lupa baca A.N, Baca cerita ini tanpa baca A.N nggak seru, kalian bingung nanti.

Kita sama-sama terluka karena ego, kita sama-sama melupakan dengan terpaksa, meski perasaan yang begitu dalam tidak sesederhana itu untuk dipadamkan.

Darja tahu, ia telah menyakiti Aika, membohongi perasaannya sendiri bahwa ia sama hancurnya dengan Aika ketika mengucapkan kalimat itu. tapi, jika tidak seperti itu ia akan terus membuat Aika berharap padanya, dan ia tidak mau itu terjadi. Darja menghargai hubungannya dengan Miranda, Miranda seseorang yang baik, yang bisa mengertinya, dan yang paling penting Miranda itu mirip mamanya.

Penyakit psikisnya? Bahkan tidak bisa sembuh, trauma itu akan terus menghantuinya sepanjang waktu. Ia hanya bisa berkurang dengan dukungan keluarga dan orang-orang terdekatnya, yang bahkan Darja tidak pernah mendapatkan itu semua dari mereka. Ia tak ingin menyeret Aika ke dalam hidupnya yang sudah gelap gulita. Aika berhak mendapatkan sosok yang lebih baik darinya,

"Jaaa...astaga, kamu sering ngelamun belakangan ini. Kenapa?"

Miranda muncul membuat Darja sedikit terkejut, tadi cewek itu memang sempat bertanya ia ada di mana, dan Darja tidak menyangka Miranda akan menyusul ke distronya.

"Nggak papa."

"Oh. Emhh kata Erka kamu pindah ke apartemen, kapan?"

"Kemarin," jawab Darja singkat. Ia mempersilakan Miranda duduk di salah satu kursi yang ada di ruang pegawai.

"Makan yuk, Ja. Kamu belum makan kan?"

Darja menggeleng, ia memang belum sempat mengisi perut padahal jam makan siang sudah lewat. Cowok itu menggenggam tangan Miranda, bersama mereka keluar dari ruang pegawai, menuju lantai tempat berbagai macam makanan di jual di mal itu.

Miranda tampak tersenyum riang saat menghabiskan waktu bersama Darja, karena memang jarang sekali pacarnya itu memiliki waktu luang. Kalau tidak ada jam kuliah, Darja pasti sibuk dengan organisasi dan bisnisnya. Ya, Miranda memang tahu Darja memiliki bisnis distro, itu pun ia tidak sengaja tahu karena mendengar pembicaraan Darja dan Erka. Hal yang membuat Miranda kagum luar biasa dengan pacar yang sudah ia kenal sejak SMA namun baru bisa ia dapatkan ketika kuliah itu. Miranda dulu adalah teman baik Darja semasa SMA, bahkan dengan Miranda Darja menceritakan sebagian kecil kisah hidupnya, termasuk hubungan dengan keluarganya yang tidak bisa dikatakan baik. Miranda memahami cowok itu dengan baik, meski sifat posesif Miranda terkadang membuat Darja tidak nyaman.

Mereka duduk di salah satu kursi yang ada di area foodcourt, setelah memesan makanan tentu saja. Fast food menjadi pilihan yang paling praktis dan cepat untuk keduanya.

"Kamu sayang aku nggak sih, Ja?"

Darja menaikkan sebelah alisnya, melihat Miranda dengan heran. Kenapa pula cewek itu tiba-tiba bertanya seperti itu?

"Sayang," jawabnya singkat. Miranda tersenyum, lebih tepatnya tersenyum kecut.

"Sampai kapan sih bohongin perasaan sendiri?"

"Maksudmu?"

Darja semakin tak mengerti dengan arah pembicaraan Miranda yang aneh. Miranda memang suka aneh saat sedang mengobrol, apalagi jika rasa cemburuannya kumat.

"Aku tahu, Ja. Aku perempuan, aku bisa rasain cara kamu memperlakukanku dan cara kamu menatap seseorang. Kamu memang Sayang aku, Ja. Karena aku mirip Mama kamu kan? Kamu nyaman sama aku tapi, itu aja nggak cukup."

"Lalu, kamu mau minta aku buat bagaimana?"

Miranda tersenyum kecil. "Aku mau minta kamu buat bertahan semampu kamu, kalau kamu udah nggak bisa bertahan lagi, aku bakal biarin kamu pergi kok Ja, begitu pula sebaliknya. Hidup kan harus realistis Ja?"

RepeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang