12. Pemira

66.7K 8.4K 163
                                    

Kamu membuat sulit hal yang kupikir mudah, kamu membuat rumit hubungan yang kupikir bisa kita jalani bersama.

Pemira dilaksanakan hari ini. suasana kampus cukup sepikarena beberapa tempat di kampus diseterilkan untuk tempat pemungutan suara. Aika duduk santai di kedai kopi belakang kampus sambil menyesap kopi susu yang ia pesan. Cewek itu cekikikan melihat meme Instagram dari ponselnya. Berbeda dengan timsesnya yang tampak tegang dan memantengi ponsel sejak tadi, mengecek informasi dari tim yang ditempatkan di titik pemungutan suara, untuk memantau jalannya Pemira.

Sementara Darja sibuk dengan laptop di depannya, ia sedang mengecek pembukuan yang baru dilaporkan oleh pegawainya kemarin.

"Gue heran deh, ini yang ikut Pemira siapa sih? Timses kalian itu pada tegang, lah kalian nyantai gini? Kalian pikir lagi nyantai kayak di pantai?"

Dika mengomeli dua manusia yang acuh tak acuh tersebut. Aika menoleh sekilas, ia nyengir, tak mengatakan apa-apa lalu kembali sibuk melihat ponselnya. Eksplore Instagram lebih menarik daripada mendengar omelan Dika atau Dino. Sedangkan Darja hanya mengendikkan bahunya. Bisnisnya lebih penting.

Sebuah pertandingan kan hanya ada dua pilihan, kalau atau menang. Kalah bukan berarti pecundang dan menang bukan berarti pahlawan. Terkadang yang kalah malah bisa menjadi seorang pahlawan. Pemira, ibarat sebuah pertandingan. Hanya yang terpilih dan direstuilah yang akan menang.

"Bener-bener ya lo berdua. Kompak banget, Njir."

"Apaan deh, lo daritadi ngomel mulu sih Mas? Duduk tenang kek, gue aja santai. Jangan kayak ulet bulu kepanasan deh."

Dika menepuk dahinya gemas. Baru sekali ini ia melihat pasangan calon yang adem ayem seperti ini. Seolah-olah tak terpengaruh dengan panasnya bilik suara.

Aika menoleh pada Darja, teringat beberapa hari lalu saat Darja mengantarkannya pulang. Tentang apa yang ia ucapkan pada Darja dan tentang ucapan Zello padanya.

"Aika."

"Kenapa?"

Aika menatap cowok itu. mereka ada di depan gerbang rumah Aika. Darja balas menatapnya dalam.

"Cowok itu nggak bisa buat sama-sama lo. Dia nggak mau bikin lo sakit lebih dari apa yang udah dia lakuin. Lo itu terlalu berharga buat dia. Jangan nunggu dia."

Aika tersenyum masam, ia hampir menangis. Tangannya berkeringat, ia menunduk dalam, menahan segala sesak yang ditorehkan oleh seseorang malam ini.

"Gue cuma pengin tahu, apa dia beneran pernah suka sama gue atau nggak?"

Darja turun dari sepeda motornya, cowok itu merapikan anakan rambut Aika yang mencuat. Ia mengelus kepala Aika, seakan mengatakan Aika tidak pernah merasakan perasaannya sendiri. Aika tidak pernah jatuh cinta sendiri.

"Baginya, lo itu cinta pertamanya. Dia bilang, lo harus bahagia."

"Tapi kenapa dia nggak milih buat sama gue?"

Darja menghela napasnya. Ada banyak hal yang ingin ia jelaskan namun tertelan di pangkal tenggorokannya. Ia bukan manusia sempurna, ia tidak layak untuk Aika. Darja tidak ingin Aika terlibat lebih jauh dalam hidupnya, hingga akhirnya Aika harus tahu, kalau ia memiliki trauma yang tidak bisa disembuhkan seumur hidup, dan jika tetap memaksa untuk bersama, bukankah ia akan menyusahkan Aika nantinya?

"Nggak semua perasaan harus berakhir sama-sama," kata Darja singkat.

Ia lalu kembali naik ke atas motornya, cowok itu menurunkan kaca helm yang ia pakai. Menatap Aika sepersekian detik sebelum menstater motornya.

RepeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang