Rindu ini kian menumpuk, membentuk sebelanga luka yang memuakkan. Membuatku menunggu dalam ketidakpastian. Meraba masa yang bergerak, mengharap kamu kembali pulang.
"Tapi, Bapak tidak bisa membuat kebijakan mendadak seperti ini. Bagaimana mungkin SPJ dan LPJ dimajukan dan kami hanya diberi waktu satu dua minggu? Sangat tidak masuk akal, belum lagi pihak PUMK selalu menyalahkan pekerjaan kami. Dana sebesar itu bagaimana mungkin bisa, Pak?"
Aika menatap lurus Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan yang tiba-tiba memanggilnya untuk membicarakan masalah SPJ dan LPJ. Semenjak perginya Darja, tampuk kepemimpinan diambil alih oleh Aika. Kepergian Darja tidak boleh membuatnya lemah, ia masih memiliki tanggung jawab di sisa masa jabatan mereka.
"Ini sudah keputusan kampus, dan kita memang harus segera melaporkan jumlah dana yang terpakai, Aika. Bapak tidak memiliki pilihan lain."
Aika mendesah, memegangi kepalanya yang mendadak pening, bagaimana bisa dalam waktu dua minggu laporan SPJ dan LPJ bisa diselesaikan, dengan jumlah dana yang mencapai ratusan juta?
"Bahkan ini belum masa akhir jabatan saya, Pak. Masih ada dua bulan lagi, kenapa mendadak? Seharusnya Bapak memberi kami waktu satu bulan."
Pak Samsul—wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan menepuk bahu Aika pelan, raut wajah pria itu cukup sulit diartikan. Rambut putihnya disisir menggunakan jari.
"Saya bangga padamu, bisa memimpin sampai hari ini sepeninggalan Darja. Bapak percaya denganmu, Aika."
Mendengar nama itu disebut membuat hati Aika mencelus, cewek itu tersenyum masam, tak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat. Ia gagal negosiasi dengan Pak Samsul, perdebatan selama satu jam itu tidak menghasilkan apa pun. Ia merasa gagal.
"Saya gagal, berdiskusi dengan Bapak pun saya kalah. Saya permisi, akan saya usahakan," pungkasnya lantas pergi meninggalkan ruangan Pak Samsul yang berada di lantai dua gedung rektorat.
Bahu cewek itu turun ke bawah, matanya mendadak memerah. Rindu itu menyusup dengan kurang ajar, membuatnya kembali lemah, meski ia tampik, rasa kehilangan Darja masih menjadi bayangan kuat yang menghantui kepala. Sudah berbulan-bulan semenjak kepergian Darja—yang entah dibawa kemana, namun rasa kehilangan itu masih melekat kuat.
Aika berjalan dengan menunduk, mencoba untuk tidak menjadi lemah lagi. Banyak orang yang bergantung padanya, ia memiliki tanggung jawab. Kehilangan sekali lagi tidak akan membunuhnya.
"Aku cariin, ayo makan sama Mikha."
Mendongakkan kepalanya, mata Aika bertemu dengan wajah Karyo. Cewek itu tersenyum masam.
"Kenapa tahu gue di sini?"
"Tadi nanya sama anak Ormawa. Ayo makan, laper iki."
"Traktir!"
Karyo mendengus, tapi demi mengembalikan senyum Aika, tidak masalah dompetnya kempes. Ia sudah menganggap Aika adik sendiri, lagipula Aika masih sepupunya.
"Ya udah, ayo."
***
"Eh, Ka. Kemarin anak Akuntansi, temen gue minta nomor WA lo," seloroh Mikha setelah menelan penyetan ayam yang ia pesan. Aika menaikkan sebelah, kembali sibuk dengan ayam penyet sambal tempong yang terasa nikmat di lidah—sambal segar berpadu dengan ayam goreng yang cukup kering.
"Buat apaan?"
"PDKT kali. Mau nggak lo? Daripada jomlo."
Berhenti mengunyah dan meminum es tehnya, Aika memandang datar kea rah Mikha, membuat wajah Mikha mendadak pias. Semenjak Darja pergi, Aika memang menjadi tertutup, tidak seceria dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Repeat
Teen FictionSeri Kampus 4 Trigger warning: Post Traumatic Stress Disorder, anxiety disorder, overthinking, feeling useless, toxic family. Darja adalah cinta monyet Aika. Nahasnya Darja meninggalkan Aika sehari setelah bilang cinta. Bertahun-tahun mereka tidak b...