Apakah perasaan cinta yang kita miliki bisa menjadi selamanya? Ataukah justru kita saling menciptakan luka pada akhirnya?
Darja melepas pelukannya dari Aika. Ia tak menampilkan ekspresi apa-apa, bibirnya terkatup rapat, matanya memandang Aika dalam. Seakan ingin mengatakan semua kegelisahannya yang telah mengakar kuat.
"Lo konsumsi obat?"
Darja mengangguk sekilas. Obat anti depresan, meski tidak setiap hari. Di saat-saat tertentu ia masih mengonsumsinya. Sejauh ini, hanya obat itu yang bisa membuatnya merasa lebih baik, walau efeknya hanya sementara, berlaku sesaat setelah mengonsumsi.
"Tahu kan, konsumsi obat kayak gitu nggak baik jika jangka panjang?"
"Gue tahu." Darja menghela napasnya, "But I have no choice."
Aika menepuk bahu Darja sekilas, ia mengingat-ingat sesuatu. "Ada kok, PTSD kayaknya bisa dikurangin dengan konsep cognitive behaviour, atau ego-state. Seinget gue sih itu. lo nggak mau nyobain?"
Darja mengangkat bahunya, ia pernah mencoba terapi dengan psikiaternya tapi belum tampak hasilnya hingga saat ini.
"Percuma—"
"Nggak. Itu karena lo belum mau membangun komitmen sama diri lo sendiri dan nggak ada yang dukung lo buat itu."
"Memang sekarang ada?"
Aika berdecak, menoyor kepala Darja, "lo nggak lihat ada gue?"
"Lo yakin mau dukung gue?" Darja bertanya dengan pandangan ragu.
"Kesel gue sama lo. Astagaa...bisa ya gue suka sama orang kayak lo? Pesimistisnya tinggi banget lagi."
Darja tersenyum masam. Nyatanya memang benar, ia sudah pesimis dengan harapannya untuk sedikit saja mengurangi rasa trauma itu.
"Ke lembaganya Pak Romli yuk. Kayaknya beliau bisa bantu lo."
Aika menggandeng tangan Darja, tanpa memberi kesempatan cowok itu untuk mengutarakan pendapat. Ia mungkin akan membolos kelas hari ini, tapi siapa yang peduli?
***
Darja menggenggam tangannya. Pikirannya berkelana, Aika benar-benar memaksa untuk datang ke sebuah lembaga milik Pak Romli yang letaknya memang tidak begitu jauh dari kampus. Sesekali Aika memandangnya dengan tatapan penguatan, bahwa semuanya akan berjalan dengan baik.
"Ini akan percuma, lo tahu itu."
Aika membuang napasnya, tahu Darja akan seperti ini, ia mencoba maklum. Orang seperti Darja tidak bisa diperlakukan dengan keras, harus menggunakan cara lunak dan konsisten. Karena proses pemulihan tidak ada yang instan.
"Ayo, udah ditunggu Pak Romli," kata Aika—setelah mereka membuat janji dengan salah seorang pegawai di lembaga itu.
Memberi kekuatan dengan sebuah genggaman hangat di tangan, Aika membawa Darja masuk ke dalam ruang praktik Pak Romli—yang kebetulan sekali sedang berada di kantor lembaganya, tidak sedang mengajar atau melakukan hal lain yang mungkin membuatnya tidak berada di sini. Pak Romli adalah salah satu dosen di kampus yang memang ahli dalam penerapan konseling.
"Pak..."
Aika menjabat tangan Pak Romli begitu pula dengan Darja. Pak Romli tersenyum singkat dan mempersilakan keduanya untuk duduk. Ruangan yang luas dan cukup nyaman, di dindingnya terdapat beberapa foto hasil kegiatan lembaga, seperti konseling healing korban tsunami di Mentawai beberapa tahun lalu dan beberapa kegiatan lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Repeat
Teen FictionSeri Kampus 4 Trigger warning: Post Traumatic Stress Disorder, anxiety disorder, overthinking, feeling useless, toxic family. Darja adalah cinta monyet Aika. Nahasnya Darja meninggalkan Aika sehari setelah bilang cinta. Bertahun-tahun mereka tidak b...