19. Talk to Marie

64.5K 8.1K 720
                                    

Kenangan yang kamu ciptakan, menjadi hantu di kepala, menjelma sakit yang luar biasa. Sebab, luka yang kamu tinggalkan tidak bisa sembuh sampai habisnya lusa.

"Mikha, gue pusing sumpah."

Aika menelungkupkan kepalanya di atas meja di dalam kelas, baru saja dosen mereka yang bernama Bu Seruni keluar dari dalam kelas. Dosen mata kuliah penyusunan skala psikologi yang membuat Aika pusing tujuh keliling.

"Buset, gue gak paham dijelasin sosiometri, apaan tadi dah. Ya Allah gini amat dosen gue, pinter sih pinter, lulusan luar negeri, tapi kalau ngajar kayak ngajarin papan tahu nggak?"

Mikha menopang dagunya dengan tangan, ia menghela napasnya pasrah. Sumpah, kalau bisa Mikha angkat bendera putih, ia pasti akan mengangkatnya. Mikha tidak menyukai hal-hal yang berbau angka.

"Gue kira kuliah psikologi nggak ada beginiannya, Ka. Tahunya, pengin guling-guling gue. Belum lagi ntar kena stastistik nonparametrik, tambah mampus nggak tuh, Bu Seruni lagi yang ngajar. Ngebayangin angka-angka yang aduhai, pengin kobam gue."

Aika memegangi kepalanya yang bertambah pusing, memikirkan mata kuliah itu membuat perutnya mendadak mulas. Belum lagi kalau nanti ia mengambil skripsi dengan dosen pembimbing yang meminta untuk mengambil jenis penelitian yang melibatkan metode-metode durjana itu. sudah pasti ia kurus mendadak.

"Butuh asupan gizi dari Karyo," kata Mikha yang otaknya tiba-tiba mengingat Karyo. Seminggu ini, ia belum memalak Karyo.

"Ayo deh, dia habis gajian pasti."

Dengan muka lusuh dan tidak bersemangat, dua perempuan itu berjalan meninggalkan kelas. Di balik semua urusan perasaan yang membelenggu, bagi Aika tetap urusan kuliah yang paling memusingkan. Bayangkan deadline tugas hampir setiap hari, buku-buku tebal yang berisi ratusan teori siap membakar otaknya. Dan, mirisnya, sejauh ini Aika hanya mampu memahami teori milik Ivan Pavlov, Freud, dan Bandura. Lainnya? Katakan selamat tinggal, hanya mampir sekilas dan pergi begitu saja tanpa permisi.

***

Karyo mengelus dompetnya miris saat dua manusia tukang palak itu menyeretnya ke McD dekat kampus. Paket panas 2 berhasil merampas dua hari uang makannya—kalau ia beli makan di warteg.

"Kalian kenapa suntuk?"

Karyo membuka suara. Dua sohibnya itu memakan ayamnya seperti tak makan satu bulan, terlihat rakus? Coba ia yang melakukannya, alamat tamat riwayatnya sebagai anak ibunya yang terkenal menjunjung tinggi adat-istiadat kesopanan khas perempuan Jawa.

"Sebel sama kuliah, pusing kepala gue, Yo. Diem deh jangan banyak nanya, gue makan juga ntar."

"Astagfirullah, anaknya Tante Keyana, mirip sumpah," ucap Karyo membuat satu potong kentang mendarat di kepalanya.

"Gue bilangin Nyokap gue tau rasa lo, Ijuk Jawa," tandas Aika, ia lalu menyeruput sodanya. Mengabaikan Karyo yang meringis. Kepalanya sudah pusing dengan deretan tugas yang tak kunjung habis, mendekati akhir semester tugas semakin menggila.

"Mik, lo udah nemu kluen belum buat tugas psikologi komunitas?"

Mikha menghela napasnya lelah, "jangankan tugas itu ya, tugas bikin makalah kelompok psikologi kepribadian aja masih utuh, tahu nggak sih lo? Mumet gue, Ka. Copas tugas kating tahun lalu, bisa kali ya."

"Yeee gila, dosennya sama ya pasti bakal ketahuanlah, Mikhaila."

Mikha memegangi kepalanya, ia tampak benar-benar frustrasi. Di saat banyak tugas seperti ini, mendadak Mikha pengin pergi liburan, sepertinya menyenangkan, lama-lama ia bisa stress kalau memikirkan tugas-tugas yang terus menjadi gunung.

RepeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang