9. Gara-Gara Sariawan

72.9K 8.6K 203
                                    

Berhenti memberiku perhatian di saat aku memerintah hatiku untuk melupakan, sebab, aku tidak sekuat itu untuk menekan perasaanku agar tidak terbawa kembali pada arus yang kamu ciptakan.

"Kampanye umum akan dilaksanakan minggu depan di aula rektorat. Lo berdua udah siap?"

Dika bertanya pada dua orang dihadapannya yang sibuk dengan pikirannya masing-masing, tidak memerhatikan ia berbicara sejak tadi.

"Woi, Ja!"

Darja mendengus. Ia bukannya tidak mendengar ucapan Dika, hanya mood-nya sedang tidak baik hari ini. Semalam, Bryan—papanya menelepon untuk bertemu, dan ketika bertemu sang papa Darja yakin tidak akan berakhir baik.

"Lo juga, Ka? Ngapain?"

Aika menunjuk mulutnya dengan tangan kanan. Ia sedang sariawan, oleh karenanya malas berbicara. Bagaimana tidak, ada tiga sariawan yang bersarang di mulutnya, satu di langit-langit mulut dan dua di bibir bawah bagian dalam. Bisa dibayangkan betapa cenut-cenutnya mulut cewek itu saat ini.

"Sariawan?"

Dahi Dika berkerut-kerut menatap Aika. Cowok itu lalu tertawa melihat wajah melas Aika setelahnya. Mata Aika sedikit memerah, mungkin karena menahan sakit dari nyeri di sariawan yang kadang-kadang datang tiba-tiba.

"Jadi, gimana? Udah siap belum nih?"

Serempak, dua manusia di depan Dika itu menganggukkan kepalanya bersama.

"Gue mau ngingetin nih, mungkin nanti bakal ada kejadian yang nggak mengenakkan diantara dua kubu yang sedang bertarung di Pemira. Bukan rahasia khusus lagi dong kalian sama lawan kalian itu di-back up sama salah satu Ormek lewat asosiasi kampus yang mengusung kalian saat ini."

Dino yang sejak tadi diam menikmati kopi starbuck hasil memalak sang adik—Dika menatap Aika dan Darja dengan serius. Kerusuhan saat diadakannya Pemira memang bukan rahasia lagi di kampus mereka, tujuh tahun lalu bahkan Rektor sampai membekukan BEM Universitas terkait penggelembungan jumlah surat suara di Fakultas Hukum. Hal tersebut tentu mencoreng seluruh jajaran ormawa di kampus, hanya karena ulah beberapa oknum mereka sampai harus menanggungnya hingga dua tahun lamanya.

"Gue udah siap sama kemungkinan apa pun, lo nggak usah khawatir."

Darja membalas dengan cepat, masalah seperti itu bukannya ia tidak tahu. Ia sudah banyak belajar sejak menjadi mahasiswa baru yang tidak tahu apa-apa. Bergaul dengan para tetua ormawa membuat Darja paham benar, betapa orang-orang saat ini sudah menyalahkaprahkan politik. Politik adalah ilmu murni, namun banyak yang mengkambinghitamkannya atas peristiwa yang tidak seharusnya terjadi. Bahkan terkadang, seseorang terjerumus bukan karena ia memang picik, tapi keadaan panas di dunia politiklah yang memaksanya untuk terlibat andil, dalam korupsi misalnya.

"Bagus deh, gue tahu lo bisa diandalkan."

Dika menepuk bahu Darja, seakan mengatakan ia bangga dengan Darja.

"Lo mau kemana?"

Dino bertanya ketika melihat Darja berdiri dari duduknya. Mereka sedang lesehan di lantai di belakang jurusan. Tempat yang lumayan sepi untuk berdiskusi, karena Ormawa sudah disterilkan saat ini, hanya bisa dihuni oleh panitia KPU kampus karena pemilihan Pres BEM U tidak berlangsung lama dengan Pemilihan ketua BEM Fakultas dan DPM Fakultas yang diadakan serempak di seluruh fakultas.

"Ke kantin, bentar."

***

Aika mendesis menahan sakit di mulutnya. Ini semua karena kecerobohannya sendiri yang kemarin meminum caramel macchiato panas yang baru disajikan tanpa menunggunya sedikit dingin, saat Ega mentraktirnya secangkir kopi pembawa masalah itu.

RepeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang