Kehilanganmu sekali lagi, tidak akan membuatku mati. Karena aku percaya, di garis terakhir, semesta akan mempertemukan kita sekali lagi.
"Ja..."
Darja menoleh, ia mendapati Aika tengah menatapnya. Seperti biasanya, mereka duduk di atas balkon apartemen Darja, menyaksikan langit malam dan lampu-lampu gedung yang saling berlomba mengeluarkan cahaya di tengah kegelapan.
"Kalau lo boleh minta sesuatu sama Tuhan, apa yang pengin lo dapetin sebelum lo pergi?"
Darja tersenyum tipis, kursi panjang yang ia duduki dengan Aika tampak terasa nyaman. Cowok itu menggenggam tangan Aika, menyandarkan kepalanya di bahu cewek itu, lalu berbagi headset dengan Aika.
"Gue pengin Papa sayang sama gue dan keluarga gue menerima kehadiran gue."
Tubuh Aika sempat menegang sejenak, ia paksa untuk mengulas sederet senyum tipis yang akhirnya keluar seperti sebuah ringisan prihatin. Kenginan Darja terlalu sederhana, tapi kenapa sulit untuk dilakukan?
"Apa nggak cukup gue aja yang sayang sama lo?"
"Lo segalanya buat gue, tapi keluarga memiliki kasta yang berbeda dengan kehadiran lo, Aika. Gue pengin kayak anak-anak lain yang bisa dengan bebas meluk orang tuanya tanpa ada satu pun sekat yang jadi penghalang."
Air mata menumpuk di kedua mata Aika, mati-matian cewek itu menahan sesak yang menghantam dadanya. Jantungnya terasa diremas dengan kuat oleh tangan-tangan tak kasat mata.
"Ja...ada gue, ada gue yang bakalan terus sayang sama lo kok."
"Gue tahu, gue juga sayang sama lo."
Darja memejamkan matanya, menikmati semilir angin malam yang menusuk kulit. Malam tanpa bintang yang selalu kelabu, mereka duduk dalam diam, tak lagi saling berbicara, membiarkan suara musik klasik yang diputar Aika dari ponsel menyelimuti keheningan yang semakin menjadi.
"Nanti pas gue magang, gue titip ormawa ya? Jadi pemimpin yang baik, jangan kecewain gue."
Aika terkekeh, mencubit tangan Darja gemas. "Apaan deh, magang cuma tiga bulan juga, kepotong libur semester lagi."
"Ya, siapa tahu gue magangnya nambah bulan, atau tahun mungkin?" jawab Darja sekenanya, lalu terkekeh, membuat Aika mendengus malas.
"Idihh....ogah ah kalau lo ngomongnya gitu, males banget gantiin lo."
Aika mencibir, sedangkan Darja masih tergelak. Darja suka melihat wajah cemberut Aika, itu sesuatu yang menghiburnya di kala suntuk.
***
Aika memejamkan matanya, mencoba menghirup oksigen lebih banyak. Arus ingatan membawanya terlalu jauh, mengungkit hal menyakitkan tentang Darja. Cewek itu berjalan pilu menuju ruangan mengerikan yang menampung Darja. Cowok itu masih berbaring dengan tenang di sana. Ini hari keenam semenjak Darja kecelakaan, dan belum ada perubahan berarti dari cowok itu, Darja masih betah untuk menutup mata. Aika menatap nanar lantai rumah sakit, ia tak tahu harus berbuat apa selain berdoa.
Beberapa hari ini, ada seorang pria paruh baya yang selalu datang menjenguk Darja setiap hari. Namun ketika ia datang, orang tersebut memilih untuk pergi. Pria yang sebagian wajahnya mirip dengan Darja, kemungkinan itu adalah papa Darja.
"Boleh saya duduk?"
Seseorang berdiri di depan Aika, dengan wajah tegas dan sorot mata yang tampak menggambarkan kelelahan. Pria itu adalah pria yang sama yang setiap hari datang ke ruangan Darja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Repeat
Teen FictionSeri Kampus 4 Trigger warning: Post Traumatic Stress Disorder, anxiety disorder, overthinking, feeling useless, toxic family. Darja adalah cinta monyet Aika. Nahasnya Darja meninggalkan Aika sehari setelah bilang cinta. Bertahun-tahun mereka tidak b...