36. Goodbye. (1)

31.5K 3.4K 78
                                    

Alright HI again... hahaha

Sebelumnya lagi-lagi aku mau minta maaf untuk tiba-tiba menghilang gitu aja disaat aku udah janji untuk no more Delay, dan akan selesaiin cerita ini.

I don't want to give any excuse. Aku cuma butuh hidup aku tanpa drama. I love writing, so much! Tapi aku terlalu mencemplungkan diriku di dalamnya sehingga aku lupa kalau hidup itu ga semanis imajinasiku. So i got hurt by my expectation and i need to pull myself out from there for awhile.

Jangan khawatir, aku udah menyelesaikan cerita ini sampai End. Aku gak akan menggantung kalian lagi. Aku akan post EVERYDAY sampai ending, dan itu kira-kira 7 Part lagi.

And i've been working on another story. Kalau ada yang follow akun keduaku, tentang Ara dan Aura, aku berencana memindahkn cerita mereka kesini. Dan aku udah nulis lanjutan cerita mereka juga di word. So stay tuned ya!

Ok, without any further due...
Selamat membaca, Kesayangan ❤️

***

Penerbangan selama 7 jam yang membawanya menyebrangi benua menuju ke perempuan yang ia cintai tentu saja bukan apa-apa.

Memikirkan senyum hangat perempuan yang akan menyambutnya itu saja sudah cukup membayar kelelahan selama perjalanan.

Ia tahu kalau dirinya terlihat berlebihan, tetapi seperti yang pernah orang lain rasakan termasuk dirinya saat ini, jatuh cinta akan membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Apa lagi kalau perempuan itu memang pantas mendapatkan segala ketidakmungkinan itu.

Termasuk melempar dirinya kedalam pesawat beserta dokter pribadi yang akan menjahit luka sayatan di pergelangan tangannya sambil membereskan pekerjaan yang ia yakin akan terbengkalai begitu ia bersama dengan Shannon nanti.

Ia tahu cinta membutakan segalanya, tetapi ia tidak tahu kalau cinta akan sebuta ini.

Ini pertama -dan semoga terakhir- kalinya Austin merasakan petasan-petasan kecil di jantungnya setiap kali membayangkan wajah seorang perempuan, merasakan kupu-kupu berterbangan di perutnya setiap mengingat senyumannya, dan rasa tidak ingin kehilangan walau hanya sebentar.

Austin benar-benar jatuh cinta pada Shannon hingga batas yang tidak bisa Austin kendalikan. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia lakukan terhadap hidupnya jika ia sampai kehilangan Shannon. Jangan sampai!

Dari sejuta keputusan yang ia putuskan dalam hidupnya dan untuk perusahaannya atau masa depan dan masa lalunya, ia merasa keputusan untuk menghentikan pernikahan Shannon dan mengajak Shannon untuk menikah adalah keputusan terbaik yang pernah ia buat.

Ia tidak akan menyesali apapun.

***

"Ma, kapan papa akan datang?" Tanya Gio yang terlihat kebosanan di kamar tidur yang disediakan oleh orang tua Shannon.

Shannon yang setengah melamun di depan jendela kamar yang sedianya adalah kamar tidurnya yang dulu kemudian menoleh kearah Gio. Ia tersenyum kecil dan menghampiri Gio di atas kasur.

"Kenapa? Gio merindukan Uncle?"

"Papa!" Koreksi Gio. "Papa bilang akan segera menyusul, tapi mana?"

Shannon terkekeh kecil sebelum kembali memasang wajah datarnya. Ia sendiri tidak tahu kapan Austin akan datang. Pembicaraan terakhir mereka adalah 8 jam yang lalu, disaat Austin tiba-tiba mengatakan akan menyusulnya.

"Ma, untuk apa kita kemari? Gio bosan!" Gerutu Gio, kali ini ia merebahkan tubuh kecilnya di atas kasur dan merengek-rengek kecil.

"Gio..." panggil Shannon nampak kebingungan. "Kita kesini untuk bertemu kakek buyut. Gio jangan nakal, ya?" Pinta Shannon.

Love from 9000 Miles [#MFFS4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang