39. Best thing in my life.

32.5K 3.3K 70
                                    

"Mama..."

"Shan..."

Gio muncul disusul oleh Austin yang tengah membawa nampan makanan di tangannya.

Mereka terlihat lelah dengan kemeja hitam yang dikenakan. Jelas saja, mereka baru kembali dari pemakaman Kakek Shannon yang baru di laksanakan beberapa jam yang lalu.

Austin mendekati perempuan bergaun hitam yang tengah duduk termenung dengan dokumen tebal di pelukannya. Wajahnya terlihat menyedihkan dengan kantung mata hitam dan bibir pucat juga kering akibat kurangnya asupan istirahat dan makanan beberapa hari belakangan.

"Kau harus makan, Shan," bujuk Austin sambil meletakkan nampan berisi bubur di atas nakas.

Begitu kembali dari pemakaman, Shannon langsung mengurung dirinya di kamar tidur Kakeknya sementara keluarganya yang lain masih sibuk membereskan barang-barang peninggalan sang Kakek selagi menunggu kedatangan pengacara Kakeknya yang akan membacakan surat wasiat.

Mata Shannon yang telihat kosong itu perlahan menatap Austin. Austin merentangkan tangannya dan membelai pelan pipi Shannon yang terasa semakin kurus.

"I'm right here, Babe. You can tell me anything that bothering you. Jangan menyalahkan dirimu sendiri dan menyimpannya seorang diri. Kematian Kakek memang sudah ditakdirkan. Ini sama sekali bukan salahmu," ujar Austin. Ia berharap Shannon dapat melunakkan hatinya dan mencerna kebenaran dalam ucapannya. Shannon terlalu memaksakan dirinya sendiri.

Austin menghela nafas dan menoleh menatap Gio yang terlihat lelah.

"Gio istirahat, ya? Papa tidak melihat Gio tidur sejak kemarin," bujuk Austin pada Gio kali ini.

Gio menggeleng pelan. "Gio takut, Papa. Gio takut seperti Kakek buyut yang tertidur dan tidak bangun lagi, lalu dikubur seperti tadi. Gio takut Mama sedih," ucapnya.

Shannon mengerjap. Perlahan kekosongan di matanya mulai terisi meski ia kembali menangis setelah itu. Ia kemudian meletakkan dokumen di pelukannya ke atas kasur dan meraih Gio ke pelukannya.

"Maafkan Mama, Sayang. Mama sudah membuat kamu khawatir, ya?" Suara Shannon terdengar serak. "Kamu tidur ya. Kamu pasti lelah. Mama berjanji, kamu tidak akan seperti Kakek. Mama pasti akan membangunkanmu nanti."

"Papa juga berjanji," tambah Austin.

Gio menguap kemudian mengangguk. "Kalau begitu Gio tidur sebentar saja. Nanti bangunkan Gio ya?" Pintanya yang kemudian di jawab anggukan oleh Austin maupun Shannon.

Gio kemudian berjalan malas sambil mengucek matanya menuju ke kamar tidurnya. Ia juga sudah lelah mempersiapkan pemakaman yang terhitung mendadak ini.

Austin kemudian meraih kedua tangan Shannon sebelum ia sempat meraih kembali dokumen tebal yang tidak Austin ketahui isinya.

"Jangan abaikan aku, Shan. Kau tahu kalau kau bisa menceritakan apapun padaku. Aku tersiksa melihatmu seperti ini." Austin meremas jemari Shannon hingga Shannon menoleh dan menatap matanya dalam-dalam. "Ya?" Sambungnya dengan nada membujuk.

Sedetik kemudian pertahanan Shannon runtuh. Air matanya kembali mengalir diiringi isakkan pilu yang langsung di bungkam Austin dengan menarik Shannon ke pelukannya.

"Ini semua salahku, Austin. Kakek tidak perlu sakit dan menderita selama ini kalau aku tidak keras kepala dan mengkhianati kepercayaan Kakek."

"Kematian Kakek sama sekali bukan kesalahanmu. Pikirkan sisi positif dari peristiwa ini, Shan," ujar Austin mencoba melapangkan hati Shannon. "Kau tidak akan memiliki anak yang pintar seperti Gio. Kita juga mungkin tidak akan pernah bertemu seandainya itu semua tidak terjadi. Aku tidak tahu denganmu, tetapi bagiku..."

Love from 9000 Miles [#MFFS4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang