2. Bertemu lagi.

64.3K 4.8K 97
                                    

Austin menatap kaca jendela yang mengarah ke jalan raya dan lobby kantornya dengan tatapan kosong. Setiap kali ia melamun, setiap kali itu juga perempuan itu terus menerus mengisi pikirannya.

Kata-kata dan senyum menyesalnya ketika mengatakan jika ia akan menikah dengan laki-laki pilihannya. Bagaimana pandangan mengasihani yang tertuju padanya dari keluarganya. Dan bagaimana ia masih bisa waras datang ke pernikahan perempuan yang ia cintai dan memberkati pernikahan mereka tanpa membuat kekacauan.

Ia mungkin terlihat baik-baik saja. Cinta pertamanya dirasa hanya perasaan semu semata bagi orang-orang. Tapi di dalamnya, ia hancur, tidak terdeskripsikan.

Ia bukan laki-laki brengsek yang gemar memainkan perempuan seperti kembaran tertuanya. Atau juga bukan laki-laki yang memikirkan sebab dan akibat sebelum bertindak seperti Ayah dan kakak angkatnya. Ia hanya Austin, laki-laki yang bersumpah akan ikut berbahagia jika melihat wanita yang dicintainya bahagia. Laki-laki pengecut yang tidak berani memaksakan kehendaknya.

Pengecut yang memilih melarikan diri.

Austin tertawa miring dan menghela nafas kasar.

Ketika ia menoleh, ia dikejutkan oleh kehadiran anak kecil di kursi kosong di hadapannya. Entah sejak kapan ia berada disana memperhatikan Austin.

"Uncle, kau tahu? Mamaku juga mempunyai hobby yang sama denganmu. Apa semua orang dewasa gemar melamun?" Tanya Gio dengan wajah innocentnya.

Austin tergelak. Ia cukup takjub dengan kelancaran berbahasa inggris Gio di usianya yang masih terlampau muda. "Hai Gio, sejak kapan kau berada disini?" Sapa Austin sambil membenarkan posisi duduknya. "Kau mau minum sesuatu?"

Gio menggeleng. "Mama bilang, aku tidak boleh menerima tawaran apapun dari orang yang tidak ku kenal."

Austin kembali tergelak. "Bukankah kita sudah berkenalan kemarin?" Tanyanya. Ia terlihat tertarik pada bocah di hadapannya sejak terakhir kali bertemu. Dan setelah mengetahui kecerdasan bocah itu, Austin semakin tertarik lagi.

"Uh... benar juga." Gio nampak berpikir keras sampai dahinya berkerut.

Austin tidak ingin membuat Gio semakin bingung. Maka ia kembali membawa topik pertama yang Gio tanyakan. "Kau bilang ibumu juga suka melamun, kenapa ibumu melamun?"

"Memikirkan Papa." Gio menjawab dengan senyum yang terpatri lebar.

"Memangnya, ada apa dengan ayahmu?" Tanya Austin bingung.

Gio menggeleng. "Mama bilang Papa sedang pergi jauh," jawab Gio. "Mama tidak pernah bilang Papa pergi kemana atau papa akan kembali," sambungnya membuat Austin bungkam.

Anak sekecil Gio bisa terlihat tegar membicarakan hal ini. Ia bisa membayangkan laki-laki dewasa seperti apa yang akan tumbuh dari pria kecil di hadapannya nanti.

"Gio, aku bilang jangan kabur! Aku hanya ke toilet sebent-" perempuan muda itu terkesiap dan langsung mengecilkan suaranya saat melihat siapa yang sedang bersama Gio saat ini. "G-good afternoon, Mr.Tyler. M-maaf kalau Gio mengganggu anda lagi..." cicitnya tanpa berani menatap wajah Austin. Perempuan itu kemudian melambai kearah Gio, mengkodenya untuk menghampirinya. "Gio, sini!"

"Tidak mengganggu sama sekali. Saya senang bisa bicara dengan Gio. Dia anak yang pandai," ujar Austin sambil mengedipkan sebelah matanya pada Gio yang tersenyum lebar.

Perempuan itu tersenyum salah tingkah dan mengangguk kecil. "Gio, ayo. Sudah waktunya," ajak perempuan itu berbisik kearah Gio.

Gio mengangguk dan melambai kearah Austin, " Bye uncle tampan. Kita bicara lagi lain waktu ya!"

Love from 9000 Miles [#MFFS4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang