Seminggu berlalu setelah lamaran Austin di Bali, dan semua kembali ke sedia kala.
Austin kembali sibuk dengan pekerjaannya hingga mereka tidak dapat bertemu selama satu minggu penuh. Entah apa yang laki-laki itu kerjakan, tetapi seusai lamaran itu, bukankah harusnya ada perbedaan pada hubungan mereka?
Tapi sebaliknya, Shannon malah merasa Austin semakin menjauh selama seminggu ini. Atau mungkin itu hanya perasaan Shannon? Tidak tahu.
Ketidak jelasan itu juga berefek pada kinerjanya dalam bekerja.
Bukan tanpa alasan ia merasakan perasaan itu. Semua orang juga pasti akan merasakan hal yang sama ketika calon suami yang baru melamarmu, tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Jangankan telepon menanyakan kabar, pesan singkatnya saja tidak dibalas sama sekali.
"Dasar laki-laki!" Gerutu Shannon seraya melempar adonan Pizza kedalam loyang hingga menimbulkan bunyi tumbukan kencang.
Shannon sebenarnya sedikit khawatir pada keadaan Austin. Mungkin laki-laki itu sakit atau luka tusukannya menimbulkan infeksi sampai ia tidak bisa mengabari? Memikirkan kemungkinan itu membuat Shannon bergidik sendiri.
"Tidak bisa. Aku harus bicara pada Austin. Dia tidak bisa seenaknya melamar dan mencampakan orang begitu saja! Memangnya perasaanku ini apa?" Gerutunya seraya melepas ikatan apron di pinggangnya dan berjalan meraih tas tangannya. Ia melupakan pizza yang seharusnya menjadi makan siang untuk Gio nanti.
Dengan langkah terburu-buru selepas turun dari taksi, Shannon berjalan menuju resepsionis perusahaan besar itu.
"Ada yang bisa saya bantu, mbak?" Tanya resepsionis itu ramah.
"Bapak Austin Tyler. Apa beliau ada di tempat?" Tanya Shannon tanpa berpikir panjang.
"Apa anda sudah ada janji sebelumnya?" Tanya resepsionis itu dengan kening sedikit berkerut.
Shannon meringis. Ingin bertemu saja harus membuat janji. "Katakan saja Shannon mencarinya," ujar Shannon percaya diri.
Resepsionis itu tersenyum kecil dan menggeleng. "Maaf, mbak. Peraturannya disini, anda harus memiliki janji agar bisa bertemu dengan atasan kami. Jika tidak terlalu mendesak, mungkin anda bisa kembali lagi setelah membuat janji."
Shannon geram. Dari sorot mata resepsionis di hadapannya, terlihat bahwa wanita di depannya sedang menilai dirinya dan itu membuat Shannon tersinggung.
Kenapa ia sebagai tunangannya sulit sekali bertemu dengan Austin? Mengaku sebagai tunangannyapun Shannon ragu akan dipercaya. Kenapa Shannon tidak menghubungi langsung saja Austin kalau memang ia tunangannya, kan?
"Kalau begitu, Risa. Dimana ruangan Risa? Aku tidak perlu membuat janji hanya untuk bertemu dengan karyawan, kan?" Tanya Shannon tidak sabaran. Ia berencana untuk meminta Risa menghubungkannya dengan Austin nanti.
Wanita di hadapannya berdecak kecil. Ia kemudian mengecek kedalam sistem di komputernya untuk memberikan Shannon jawaban.
"Ruangannya ada di-"
Shannon tidak jadi mendengar ucapan resepsionis itu lantaran matanya menangkap sosok yang sejak seminggu ia tunggui kabarnya melalui ujung matanya.
Laki-laki itu terlihat baik-baik saja. Terlalu baik-baik saja hingga Shannon tidak mengerti kenapa laki-laki itu sampai sekarang tidak bisa menghubunginya.
"Eh... mbak mbak!!!!"
Shannon berlari menghampiri Austin dan menghiraukan panggilan juga kejaran resepsionis yang panik melihatnya menghampiri sang atasan.
"Mbakkk jangan!!!" Teriaknya seakan-akan Shannon adalah seorang teroris yang mengancam keselamatan Austin.
Shannon tidak peduli dengan tatapan orang-orang. Ia juga tidak peduli jika Austin sedang dalam perbincangan bisnis saat ini. Ia memerlukan kejelasan yang lebih jelas lagi dan juga penjelasan atas sikap acuh Austin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love from 9000 Miles [#MFFS4]
RomanceAku duduk di ruang tunggu hingga suara pengumuman yang mengabarkan kalau pesawat kami telah tersedia. Aku memasukkan laptopku ke dalam tas kerja yang selalu kubawa, dan meraih Jaket yang kusandingkan di kursi kosong sebelahku. Sebentar lagi, sebenta...