Suara ECG menjadi hal pertama yang masuk ke indera pendengarannya ketika masuk ke ruangan dingin itu.
Shannon berhenti untuk beberapa detik di depan pintu hanya untuk sekedar menguatkan diri akan keputusannya.
"Mama, Gio takut..." bisik Gio sambil menarik-narik tangan Shannon.
Shannon terkejut dan sempat tersentak. Ia kemudian tersenyum pada Gio. "Tidak perlu takut, Mama ada disini. Mama akan melindungi kamu, dan selalu melindungi kamu, apapun yang terjadi, apapun yang mengalir di darahmu, latar belakangmu, kamu tetap anak Mama yang mama sayangi, Gio. Kamu bukan anak laki-laki itu..."
Gio mengernyit tidak mengerti. Dan Shannon baru sadar kalau ia baru saja menyuarakan pikirannya pada anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
"Tidak ada, tidak perlu di pikirkan." Shannon tersenyum dan berbicara di dalam hatinya sendiri, benar. Tidak peduli apapun yang telah terjadi, Gio sama sekali tidak bersalah. Gio tidak berdosa.
Mereka kemudian berjalan perlahan hingga Shannon bisa melihat kasur rawat Kakeknya dan Kakeknya yang tertidur dengan berbagai selang melekat di tubuhnya yang sudah tidak lagi terlihat muda.
Shannon sesaat terhenyak. Pikirannya seakan terlempar ke ingatan terakhir akan Kakeknya yang masih terlihat sehat di usianya yang tidak lagi muda dulu. Itu jauh lebih baik daripada kondisi Kakeknya saat ini.
"Itu Kakek buyut, Ma? Kenapa ada banyak kabel? Apa Kakek buyut robot?" Tanya Gio polos.
Shannon menoleh sejenak dan mencoba tersenyum. Ia kemudian berlutut di hadapan Gio untuk memberikan pengertian singkat akan kondisi Kakek buyutnya.
"Gio... Kakek buyut sedang sakit. Jadi nanti, Gio perkenalkan diri Gio dan beri kakek buyut semangat ya? Supaya Kakek buyut bisa cepat sembuh dan bisa main sama Gio." Shannon membelai lembut kepala Gio. Tersenyum saat itu adalah hal yang tersulit untuk ia lakukan, tetapi ia masih mencoba melakukannya.
Gio mengangguk patuh.
Shannon kembali berdiri dan mendekati ranjang Kakeknya. Semakin dekat, semakin jelas pula ia bisa melihat keadaan Kakeknya yang berbeda jauh dari yang berada di ingatannya. Jelas sekali kalau Kakeknya terlihat jauh lebih kurus dibandingkan saat Shannon diusir dulu.
Shannon berhenti sementara Gio dengan bersemangat mendekati kasur Kakeknya.
"Hai kakek buyut! Kata Mama, Kakek sedang sakit. Cepat sembuh ya, Kek! Biar kakek buyut bisa main bersama Gio dan Papa Austin. Papa Austin berjanji akan membawa Gio melihat Transformers. Kita pergi bersama ya nanti, kek? Sama Kakek dan Nenek juga. Gio senang sekali akhirnya Gio punya Kakek dan Nenek. Lalu sekarang Gio juga punya Kakek buyut! Teman-teman pasti iri sama Gio," celoteh Gio panjang lebar.
Shannon yang mendengarkan di belakangnya, sekuat tenaga menahan airmata kesedihan yang mengancam untuk turun mendengar ucapan tidak berdosa Gio.
"Kakek buyut pasti akan sembuh. Optimus Prime saat kelelahan juga diisi bensin seperti Kakek buyut," ucap Gio merajuk pada selang infus di pergelangan tangan Kakeknya. "Gio juga pernah seperti ini. Dan kata Papa, Gio akan semakin kuat setelah diisi cairan ini, seperti Optimus Prime!"
Tanpa perlu ditanya, Shannon tahu siapa yang Gio sedang bicarakan. Pasti Austin yang mengatakan semua omong kosong itu dulu.
"Gio sayang sama Kakek buyut. Gio juga sayang sama Kakek dan Nenek. Gio juga sayang sama Papa dan Mama. Nanti kita main-main bareng ya di rumah Kakek buyut yang besaaaaaaar sekali," ujarnya bersemangat. Berlainan dengan Shannon yang bahkan tidak bisa merasakan lagi kakinya saat ini.
Shannon segera menyentuh bahu Gio dan berkata, "anak pintar, Sekarang kamu kedepan dulu ya sama Kakek dan Nenek? Mama ingin berbicara dengan Kakek buyut sebentar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love from 9000 Miles [#MFFS4]
RomanceAku duduk di ruang tunggu hingga suara pengumuman yang mengabarkan kalau pesawat kami telah tersedia. Aku memasukkan laptopku ke dalam tas kerja yang selalu kubawa, dan meraih Jaket yang kusandingkan di kursi kosong sebelahku. Sebentar lagi, sebenta...