Deras suara ombak yang menggulung di tepi pantai seakan menjadi lagu penenang ditengah keresahan yang tengah menggeluti hati Shannon.
Seberapa lama ia mencoba tegar menghadapi kenyataan bahwa Kakeknya sudah tiada disaat ia tidak memiliki kesempatan meminta maaf, selama itu juga dirinya terus gagal.
Melihat keresahan itu, Austin memutuskan untuk membiarkan Shannon tinggal lebih lama di Australia dan berkumpul bersama keluarganya yang mungkin lebih bisa mengobati keresahan hati Shannon dari pada kehadirannya yang tidak terlihat bisa membantu banyak.
Terlebih, perusahaan keluarga Kakek Shannon yang mendadak berpindah tangan kepada Shannon, semakin menambah beban pikiran perempuan yang tidak tahu menahu mengenai bisnis perindustrian itu.
Shannon membutuhkan lebih banyak waktu sebelum menghadapi hidupnya lagi dengan lebih berani.
"Mama..."
Panggilan Gio menyadarkan Shannon dari lamunannya.
"Disini dingin. Masuk yuk?" Ajak Gio sambil menyentuh lengan Shannon pelan. Wajahnya terlihat khawatir, namun untuk anak seusainya yang seharusnya lebih memikirkan waktu bermain dan merengek-rengek untuk mendapat perhatian, Gio malah terlihat lebih dewasa dengan mencoba mengerti keadaan ibunya yang masih berduka.
Mereka kini tinggal di Villa yang terletak di Pantai Bondi milik Kakeknya yang diberikan untuk Ayahnya sebagai warisan. Tidak ada alasan spesifik sebenarnya. Hanya saja, ini adalah ide Austin agar Shannon dan keluarganya bisa mengenang kenangan Kakeknya yang tidak Shannon ketahui selagi Austin harus kembali ke Indonesia.
"Nenek membuat kue kesukaan Kakek buyut. La... lamiton?" Ujarnya ragu.
Shannon melirik Gio yang terlihat lucu saat sedang berpikir akan nama kue yang dibuat Neneknya. Ia terkekeh kecil. "Lamington, sayang."
"Ah iya itu!!" Serunya girang. "Dari aromanya sepertinya sangat enak. Ayuk masuk, ma!!" Kali ini Gio menarik lengan Shannon agar Shannon mau mengikutinya.
Shannon mengalah dan berdiri mengikuti tarikan Gio. Dari arah dapur, Shannon bisa mencium wangi adonan yang baru keluar dari oven. Benar kata Gio, dari aromanya sudah terasa enak.
"Hai Shannon..." sapa seorang wanita begitu Shannon dan Gio melangkah menuju ruang makan.
Mata Shannon membesar. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Bibi..."
Wanita itu langsung berdiri dan memeluk Shannon yang masih mematung di tempatnya akibat terkejut melihat kedatangannya.
"Maaf bibi baru sempat datang. Bibi turut berduka atas meninggalnya Kakekmu. Austin baru memberitahu kami waktu pemakaman dan itu sangat mendadak," ujarnya seraya melepas pelukannya dan menatap Shannon lembut. "Kebetulan Ayahnya Austin sedang ada pekerjaan di Australia, jadi Bibi memutuskan untuk ikut dan mengunjungi kalian. Austin yang memberikan alamatmu pada Bibi. Maaf kalau bibi datang tanpa-"
"Tidak, bi!" Sela Shannon cepat begitu melihat keseganan di wajah Ibu kandung Austin. "Jangan mengatakan itu. Terima kasih telah datang," katanya dan kembali memeluk Keira lebih erat. "Sudah berapa lama Bibi disini?" Tanyanya.
"Satu jam yang lalu. Tapi kau terlihat sibuk melamun di belakang, jadi Bibi bermain dulu dengan Gio," jawab Keira. Mereka kembali ke meja makan menyusul Gio yang sudah sibuk dengan kuenya bersama dengan Ibu Shannon.
Shannon mengangguk kecil dan tersenyum. Ia mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari sesuatu, atau seseorang.
"Austin tidak kemari. Dia masih ada urusan di Indonesia. Apa dia tidak memberitahumu?" Tebak Keira membuat Shannon tersipu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love from 9000 Miles [#MFFS4]
RomanceAku duduk di ruang tunggu hingga suara pengumuman yang mengabarkan kalau pesawat kami telah tersedia. Aku memasukkan laptopku ke dalam tas kerja yang selalu kubawa, dan meraih Jaket yang kusandingkan di kursi kosong sebelahku. Sebentar lagi, sebenta...