DEEPEST WOUND

14 1 0
                                    

"Aku sudah terbiasa sendiri bukan? Aku pasti bisa menyelesaikannya. Tak perlu melibatkan siapapun.. Tak perlu..." Vilo merapal kalimat tersebut berkali-kali. Ia menatap bias dirinya di cermin. Mata sembab, wajah pucat dan rambut berantakkan menyapanya. Seakan bias dari cermin tersebut berteriak meminta pertolongan. 

Vilo kembali teringat dengan kejadian di The La Caffe beberapa waktu lalu. Terakhir sebelum kecelakaan ia sempat bertengkar dengan Chris. "Kau selalu seperti itu Vilo, Kau menghindar saat ada masalah" Kata-kata Chris terputar jelas di kepalanya.

"Aku... Bukan menghindar. Hanya saja aku perlu waktu..."Gumamnya pelan.

Vilo kecil selalu mendapatkan cinta yang berlimpah dari kedua orang tuanya. Hidup bergelimang harta dan kasih sayang penuh membuatnya merasa ia menjadi seseorang yang paling beruntung di dunia. Ia selalu manja dan ramah ke orang rumahnya. Tak peduli itu pelayan ataupun para pegawai keluarga. Vilo adalah anak yang ceria dan juga penuh semangat.

Tapi segalanya berubah saat ia beranjak remaja. Rumor tentang sang ayah santer terdengar. Ia tak pernah mempercayai hal tersebut karena baginya ayahnya adalah ayah terhebat dan terbaik.

Sore itu sepulang sekolah Vilo mendapatkan kabar kalau sang kakak mengalami kecelakaan dan ia dibawa ke Rumah sakit yang berada satu blok dari sekolahnya.. Vilo langsung berlari sekencang mungkin karena jalanan saat ini macet jadi akan memakan waktu lama.

"Mama!!! Kakak.... Kakak bagaimana ma?" Vilo terengah-engah.

"Ma.... Kenapa mama nangis seperti itu? Ma... Kak Bastian... Kakak..."Vilo jatuh terduduk di lantai. Ia mengerti arti tangisan sang mama. Tangis tersedu itu berarti tangis kehilangan.

"Bastian!! Bastian!!!" Suara tegas milik Frans Courtney terdengar mengisi lorong rumah sakit.

"Papa..." Vilo bangkit dan langsung memeluk sang ayah. Bastian adalah kebanggaan Frans, Bastian adalah calon penerus sempurna bagi sang ayah.

"Vilo... Mana kakakmu? Mana nak?" Frans menatap wajah Vilo yang sudah basah dengan air mata.

"Kakak... Kak Bastian sudah pergi Pa..." Suara lirih Vilo membuat Frans terbelalak.

"PLAKKKK" Sebuah tamparan hinggap di pipi kiri Vilo.

"Frans!!!" Claise menarik anak perempuannya dan menjauhkannya dari sang ayah.

"Jangan berani-beraninya kau seperti itu!! Dasar anak bodoh!!! Mana mungkin Bastian pergi begitu saja?!" Frans membentak Vilo dengan suara yang menggelegar.

"Frans!!! Apa menampar Vilo seperti ini bisa membuat Bastian kembali? Jaga emosimu! Jangan melampiaskannya pada Vilo!" Suara Claise tak kalah tinggi.

"Gavin... Bawa Vilo pulang sekarang!" Claise menyuruh asistennya.

"Aku mau disini ma... Aku belum melihat kakak... Aku mau bertemu dengan kakak ma... Aku..."Claise menatap Vilo tajam. Vilo tak punya pilihan, ia harus menurut.

"Nona Vilo..." Vilo terpaksa mengikuti Gavin untuk pulang.

"Kak Gav... Aku mau bertemu kakak sebentar saja... Untuk... Yang... Terakhir..." Gavin menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Vilo. Gavin mengerti benar perasaan Vilo saat ini karena bagaimanapun juga Vilo sudah seperti adik baginya. Ia sudah bekerja sebagai asisten Claise sejak Vilo masih berada di kandungan. Itu mengapa ia kenal benar bagaimana Vilo.

"Kita tunggu sebentar ya Vilo. Kak Gav janji akan membawa Vilo menemui Bastian" Vilo mengangguk, ia percaya pada Gavin.

"Kita tunggu di mobil saja ya" Gavin merangkul Vilo.

"Kak Gav... Apa yang terjadi?" Tanya Vilo dingin.

"Vilo... Kau bisa menangis sepuasnya disini. Kak Gav akan menemanimu" Gavin tahu Vilo menahan emosinya sedari tadi. Ini pertama kalinya sang ayah berlaku kasar padanya. Vilo pastinya shock dan juga terluka. Terlebih lagi ia juga kehilangan Bastian, sosok cuek yang selalu menyayangi Vilo dengan caranya sendiri. Meskipun Bastian terlihat dingin tapi ia sangat melindungi Vilo.

Tes...Tes.. Perlahan air mata Vilo mulai berjatuhan. Pipi putih itu sudah basah seiring derasnya air bening yang jatuh. Vilo menangis tanpa suara, ia hanya terisak dan terus menangis. Gavin memjamkan matanya agar ia bisa mengendalikan emosinya, ia tak boleh ikut menangis juga meskipun rasa kehilangan juga melandanya saat ini. Bastian juga sudah seperti adik baginya, kepergiannya yang mendadak seperti ini terasa menyakitkan.

"Kenapa kau pergi bodoh! Siapa yang akan melindungi adikmu?" Rutuknya dalam hati. Gavin memilih keluar dari mobil, ia tetap harus terlihat kuat, setidaknya di depan Vilo. 

"Vilo... Kau bisa menemui bastian sekarang" Gavin  setelah membuka pesan di ponselnya.

"Hapus dulu air matamu... Bastian tak akan suka melihatmu seperti ini" Gavin berlutut dan menyeka air mata Vilo.

"Apa papa dan mama sudah pergi?" Tanya Vilo sambil terus mengikuti langkah kaki Gavin.

"Belum, mereka sedang mengurus administrasi dan berbagai dokumen jadi waktu kita juga tidak banyak" Vilo menghela nafas.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Gavin saat melihat wajah pucat Vilo dari pantulan pintu lift.

"Mmm..." Vilo mengangguk.

Akhirnya mereka sampai diruang dimana Bastian berada. Setelah memastikan keadaan aman, Gavin langsung menarik Vilo masuk ke ruangan tersebut. Tubuh Bastian telah di tutup kain putih. Vilo melangkah perlahan dan Gavin menunggunya di dekat pintu masuk. Ia membiarkan Vilo menghampiri Bastian sendirian.

"Kakak..." Suara Vilo terdengar memilukan.

"Aku datang kak..." Vilo memberanikan diri membuka kain yang menutupi wajah Bastian.

"KAKAKKKKKK!!!!" Vilo mundur satu langkah saat melihat retakan yang hampir membelah kepala sang kakak.

Sejak kepergian Bastian, suasana hangat di rumah Vilo menghilang. Frans menjadi tempramen dan Claise juga mulai menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya. Keluarga bahagia milik Vilo telah ikut terkubur bersama Bastian. 

Gosip affair milik Frans semakin santer terdengar, Vilo hampir muak mendengarnya. Bagaimanapun juga ia tak bisa begitu saja percaya. Sampai pada satu hari, tanpa sengaja ia melihat sang ayah sedang makan bersama seorang wanita yang selama ini disebut sebagai Jhea di salah satu restoran. Vilo hampir saja melabrak keduanya akan tetapi Gavin menahannya.

Vilo mulai berubah dan hal itu dirasakan benar oleh Gavin. Anak perempuan yang selalu merengek padanya itu tumbuh menjadi wanita dewasa yang dingin. Anak perempuan cerewet dan cengeng itupun kini sekeras batu. Vilo telah benar-benar berubah dan Gavin tak bisa menyalahkannya karena keadaan yang membuat Vilo seperti ini.

"Aku pulang sendiri saja" Vilo keluar dari mobil Gavin dan langsung memberhentikan taksi.

"Jangan mengikutiku!" Tegasnya.

Vilo mengarahkan supir taksi untuk ke suatu tempat. Tempat dimana ia bisa "mengadu". Sebuah pohon besar bertuliskan nama Bastian adalah tempat dimana ia berkeluh kesah. Vilo tak lagi mempercayai siapapun kecuali sang kakak.

"Hai kak... Aku kembali lagi.." Vilo bersandar di pohon.

"Maaf kak aku tak membawakanmu bunga, aku tadi buru-buru kesini...Blablabla...." Vilo langsung bercerita tanpa jeda. 

"Kak... Bisa sekali saja kau menjawabku? Bisa sekali saja kau...Kau...memelukku?"


REVENGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang