WELCOME BACK

4 0 0
                                    

"Kau terlihat sangat lelah... Mau ku traktir eskrim?" Gavin menjemput Vilo di lobby utama CMC.

"Aku bukan anak kecil kak. Bisa antarkan aku ke The La Caffee saja?" Vilo kini duduk di sebelah kursi supir.

"Masih Zach?" Tanya Gavin sambil menekan pedal gas.

"Bukan begitu.. Ada hal yang perlu ku bicarakan dengannya. Kak.. Kau sudah mendapat kabar tentang Clay?" Suara Vilo melemah.

"Belok sini kan?" Gavin seakan tak mau membahas tentang Clay.

"Kakak pasti tahu sesuatu kan makanya kakak mengabaikan pertanyaanku" Vilo menatap lurus ke arah depan.

"Hubungi aku saat kau sudah selesai. Aku akan menjemputmu" Gavin mengambilkan tas Vilo di kursi belakang.

"Aku akan pulang dengan Zach. Kakak istirahat saja" Vilo menutup pintu mobil dan berlalu.

"Aku hanya tak ingin kau terluka lagi kalau kau tahu Clay terlibat dalam percobaan pembunuhanmu saat di rumah sakit. Kau baru saja bangkit Vilo. Biar Kakak yang akan mengurusnya" Gavin sambil menatap Vilo dari kejauhan.

"Kak Gavin?" Vilo mengangguk dan duduk di sofa  panjang nan nyaman di sudut ruangan. Ia membuka heelsnya dan meluruskannya ke sofa dan merebahkan tubuhnya begitu saja. 

"Smoothiesku mana Zach...." Pintanya sambil menatap lukisan daun di langit-langit Cafe tersebut.

"Sebentar aku pasang tanda tutup dulu... Kau ini kalau sudah datang seenaknya saja" Zach berjalan ke pintu masuk dan membalik tanda yang tergantung di tengah pintu.

"Kau sudah makan malam?" Vilo hanya menggeleng pelan.

"Kau ini bekerja atau apa sih? Sampai larut begini. Diamlah disitu dulu, aku buatkan teh hangat" Zach kembali ke dapur.

"Aku mau smoothies saja.." rengek Vilo.

"Ini sudah malam dan cuacanyapun dingin. Kau mau terserang flu hah? Diam disitu dan dengarkan saja kata-kataku!" Vilo memutar bola matanya.

"Kau menyebalkan..." Sungut Vilo.

"Kau merepotkan..." Balas Zach tak mau kalah.

"Cepatlah mana tehnyaaaa!!!" Zach tersenyum miring saat ia melihat kelakuan wanita berambut ash brown itu. Sudah lama sekali ia tak melihat sisi kekanakan ini. Sudah lama sekali ia tidak mendengar rengekan seperti ini.

"Minum dulu tehnya, aku akan membuatkanmu nasi goreng. Kau harus makan!" Zach menaruh secangkir teh hangat beraroma bunga mawar kesukaan Vilo.

"Kenapa kau terus kembali ke dapur hah? Menyebalkan sekali sih!" Vilo protes lagi.

"Kau sebegitunya merindukanku? Pindah ke kursi bar biar kau tetap bisa melihatku dari dekat" Ledek Zach dengan nada setengah serius.

"Zach... Aku mau teh mawar ini... Kirimkan nanti ke rumahku..." Vilo tak mempedulikan ledekkan Zach barusan.

"Aku bukan kurirmu. Dan stok ku juga tak banyak. Kau beli saja online" Balas Zach sekenanya.

"Dasar pelit!" Vilo cemberut.

"Ini nasi gorengmu. Makan selagi masih hangat" Zach menggeser kaki Vilo dari sofa agar ia bisa duduk.

"Kau tidak makan?" Tanya Vilo pelan.

"Aku sudah makan tadi. Cepat makan! Aku..." Zach menghentikan kata-katanya saat melihat ekspresi Vilo berubah.

"Kau baik-baik saja kan?" Zach memastikan.

"Aku benci makan sendirian.. Emm... Kalau begitu suapi aku..." Vilo memasang wajah memohon.

"Memangnya tanganmu itu sudah tidak berfungsi hah? Cepat makan!" Zach bangkit dan meninggalkan Vilo.

"Hey... Zach!!! Kau mau kemana?!" Vilo tertawa melihat Zach yang salah tingkah.

"Aku harus membersihkan kekacauan yang sudah kau buat" Ucapnya sambil mencuci peralatan masak yang tadi ia gunakan untuk membuat nasi goreng Vilo.

"Zach... Aku tak akan makan kalau sendirian begini..." Zach menghela nafas dan menghampiri Vilo. Zach mengambil piring nasi goreng yang sedari tadi tergeletak di meja dan mulai menyuapi Vilo.

"Kau ini!! Cepat aaaa" Vilo tersenyum menang.

"Ah... Panas... Ini masih panas Zach!!!" Wajah Vilo memerah karena menahan panas di mulutnya. Sementara Zach hanya tertawa melihatnya. Keduanya terlihat sangat akrab. 

Setelah putus beberapa tahun lalu keduanya memutuskan untuk berteman. Masa transisi yang penuh drama telah mereka lewati. Hingga saat ini Zach masih tetap berada disisi Vilo. Ia tak mau lagi mendengar Vilo terpuruk dan terpikir untuk bunuh diri lagi. Cukup saat itu ia merasa sangat menyesal karena Vilo hampir saja meninggalkan dirinya untuk selamanya. Beruntung saat itu Clay sigap membawa Vilo ke rumah sakit. Baginya Vilo adalah orang yang cukup berharga, bukan karena Vilo adalah bagian dari masa lalunya, tapi karena perasaan cinta itu telah berubah menjadi perasaan sayang yang lebih luas artinya.

"Sudah lama aku tak melihatmu seperti ini.." Zach sambil meniupi nasi di sendok.

"Aku juga merindukan diriku.." Vilo tersenyum.

"Welcome back Vilomena..." Zach mengusap kepala Vilo dengan lembut.

"Oyy... Its too cheesy..." Zach tertawa mendengat celetukkan Vilo barusan.

"Besok aku akan memulai segalanya... Perlahan aku akan membalik keadaan. Perlahan aku akan membuat segalanya lebih baik.." Zach mengangguk seakan mengatakan "Kau pasti bisa!".

**********

"Walter... Bisa kita berbicara sebentar?" Chris mengetuk pintu kamar Walter. Walter memang tinggal di rumah Chris sejak beberapa tahun lalu.

"Ada apa Nona?" Walter melongok dari balik pintu.

"Ada yang perlu ku bicarakan. Temui aku di Roof top" Chris berlalu tanpa meminta persetujuan Walter. Ia sengaja memberi perintah secara halus.

"Nona Chris.." Walter muncul dari balik pintu lift.

"Chris saja.. Ini kan sudah bukan jam kerjamu dan lagi pula kita di rumah. Jangan terlalu formal. Kita juga seumuran kan.." Chris memberikan segelas red wine.

"Hmm.. Baiklah..." Walter tersenyum.

"Apa kau tak pernah bosan bekerja disini?" Tanya Chris sambil duduk di hadapan Walter.

"Aku tumbuh dan dewasa disini, orang tuamu sungguh baik jadi tak pernah sedikitpun terbesit rasa bosan. Karena... Aku tak memiliki siapapun lagi selain kalian" Chris tersenyum mendengar jawaban Walter.

"Benarkah? Kalau begitu aku bisa lega..." Walter menangkap ada nada tersembunyi dari kata kalimat Chris barusan.

"Lalu... Apa hubunganmu dengan Jhea Sophia?" Tatapan Chris seakan membidik tapi ia tetap mengendalikannya selembut mungkin.

"Ia hanya donatur panti asuhan tempatku dulu" Walter menjelaskan.

"Hanya donatur... Ternyata ia murah hati juga ya, tak seperti rumor yang ku dengar selama ini" Chris kembali melembut.

"Memang rumor apa yang kau dengar?" Tubuh Walter terlihat menegang. Ia seperti sedang waspada dengan sesuatu.

"Affair... Rumor Affairnya dengan Frans Courtney. Tapi kalau dia murah hati begitu rasanya rumor itu palsu ya.." Walter tertawa kecil saat mendengarkan kata-kata Chris.

"Frans Courtney adalah salah satu donatur utama juga di panti asuhan itu, jadi mungkin karena hal tersebut rumor itu merebak" Chris mengangguk beberapa kali.

"Jadi selama ini aku salah menilai ya... Aku jadi merasa tidak enak" Chris memasang wajah bersalah.

"Walter... Bagaimana kalau aku jadi donatur juga? Aku ingin melakukan kegiatan sosial... Bisa kau membantuku?" Walter tersenyum. Tubuhnya kini terlihat lebih rileks.

"Kalau begitu besok aku akan berbelanja beberapa buku, mainan dan camilan. Kau bisa menemaniku?" Walter menyetujui dan Chris tersenyum lebar.

"Terima kasih Chris.." Chris mengibas tangannya.

"Baiklah ini sudah malam. Kau istirahatlah. Sampai bertemu besok" Chris bangkit dari kursinya dan meninggalkan Walter. 

REVENGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang