COLD TEARS

9 1 0
                                    

"OH MY GOD!!!" Nata histeris saat ia melihat sebuah mobil menabrak tiang lampu penerangan jalan tepat di depan cafe yang baru saja ia kunjungi. Jalan tersebut lumayan sepi jadi tak banyak orang yang menghampiri mobil yang sudah terbuka kap depannya itu. Nata berlari menghampiri mobil Civic hitam itu guna mengecek korban. Nata mengetuk kaca sebelah kiri untuk menyadarkan seorang wanita yang sebagian wajahnya tertutup rambut dan luka berdarah di dahinya. Sementara di kursi supir seorang lelaki telah terkelungkup di airbag kemudi. Nata langsung membuka ponselnya dan menghubungi 911. 

Tidak begitu lama dua ambulan dan juga polisi datang ke tempat kejadian. Nata dimintai keterangan sebagai saksi dan dua korban tersebut dibawa ke rumah sakit. Setelah memberi keterangan di kantor polisi, Nata bergegas ke rumah sakit tempat dua korban itu di rawat. Berdasarkan keterangan suster yang ia temui, sang korban wanita tidak mengalami luka serius dan kini ia berada di ruang perawatan sementara sang korban lelaki masih di ruang ICU karena ia kehilangan banyak darah.

Nata berjalan pelan ke ruang ICU dan air matanya menetes saat melihat korban lelaki tersebut ternyata Regan. Seseorang yang belum lama ini memporak-porandakan hidupnya. Seseorang yang menghadirkan badai hebat yang menghempaskan segala mimpi dan harapan indah miliknya.

Beberapa alat medis menempel di tubuhnya membuat hati Nata perih melihatnya. Ia tak mengerti mengapa Tuhan terus mempertemukannya dengan Regan dalam kondisi yang seperti ini. 

"Kau harus bangun dan mempertanggung jawabkan segala kejahatanmu padaku. Aku akan terlihat seperti monster jika aku menghancurkanmu dalam keadaan seperti ini" Nata menyeka air matanya dan melangkah keluar dari ruang gawat darurat dengan perasaan bercampur aduk.

Kini Nata berjalan ke ruang perawatan dimana tempat sang korban wanita berada. Intuisinya berkata kalau wanita itu adalah Rose, tapi ia tetap ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri. Ia mendorong pintu broken white dan berjalan masuk ke dalam ruang rawat itu. Seorang wanita sedang terlelap dengan perban yang melingkar di dahinya.

"Jangan mati dulu Rose, karna ini takkan adil bila kau mati tanpa merasakan sakit sedikitpun. Bangunlah dan terima hukumanmu secara perlahan" Nata lagi-lagi meneteskan air mata. Kenangannya dengan Regan kembali terputar. Dan Rose merupakan seseorang yang cukup ia kenal juga karena Rose juga bekerja di Silver Bank tempat Regan bekerja. Nata sesekali pergi minum teh dengan Rose sambil menunggu Regan tapi ternyata yang Rose lah yang merebut Regan darinya. Nata ingat benar saat Rose bilang "Lepaskan Regan demi kebahagiaannya. Berhentilah mengkungkungnya dalam penjaramu. Biarkan ia bahagia dengan caranya sendiri".

Nata tak mampu membalas perkataan Rose saat itu dan hal tersebut membuatnya lebih kesal. Harusnya ia menampar Rose saat itu, harusnya ia memukul Regan juga. Tapi yang ia lakukan hanya terdiam tanpa air mata. Ia hanya membiarkan kedua orang itu pergi tanpa perlawanan berarti. Nata membiarkan dirinya hancur sendiri.

**********

Vilo duduk memeluk lutut di sisi ranjangnya. Kamar itu terasa kelabu, hanya lampu meja nakas yang menerangi ruangan besar itu. Vilo kembali mengurung dirinya dalam gelap. Kejadian beberapa hari lalu dengan Clay membuatnya terpukul hebat.

Beberapa pesan dan missed call memenuhi notifikasi ponselnya. Tapi Vilo hanya membiarkannya. Bisa ia lihat Clay meninggalkan ratusan pesan untuknya. Begitu juga Zach, Chris dan Nata. Ia tak memiliki keinginan untuk membalasnya. Vilo menghela nafas entah sudah berapa kali. Ia hanya merasakan hatinya begitu berat.

Malam Vilo berjalan panjang tanpa lelap sedetikpun. Tanda hitam di bawah matanya terlihat jelas sehingga pagi ini ia harus mengcovernya dengan make up yang agak tebal. Sebuah skinny jeans hitam panjang di padu dengan kemeja hitam membalut tubuhnya. Stiletto hitam juga membalut kakinya.

Vilo mengambil kunci mobilnya dan juga Clutch putih dari meja riasnya. Ia bergegas pergi ke suatu tempat guna mendapat jawaban.

Vilo menyetting GPSnya ke suatu tempat. Tempat dimana ia mempertaruhkan hatinya. Ia mengumpulkan segala keberaniannya dalam beberapa hari ini. Beruntung jalanan pagi ini tak terlalu ramai. Mobil Ferarri hitam itu melaju cepat tanpa adanya hambatan apapun. Akhirnya ia sampai di depan sebuah gedung perkantoran yang terlihat tidak terlalu mewah. Ia menarik nafas dalam guna menekan segala emosi. "Kau pasti bisa Vilo!" Ucapnya dalam hati.

Vilo memang sudah memanipulasi pertemuannya hari ini dengan CEO Retail Future, Jhea Sophia. Wanita yang hampir menghancurkan keluarga kecil miliknya. Seseorang yang ingin merebut ayah kesayangan yang selalu ia banggakan. Seseorang yang merobek hati ibundanya tanpa ampun.

Dengan sedikit bantuan orang kepercayaannya maka pertemuan ini bisa terealisasi. Vilo melewati sekertaris CEO dengan mudah. Vilo mengetuk pintu hitam besar itu dengan hati berdebar. Ia takut kalau emosinya meledak sesaat ketika ia melihat wanita itu di hadapannya.

"Nona... Kau baik-baik saja?" Tanya sang sekertaris saat melihat Vilo terdiam di depan pintu.

"Ah... Iya tentu saja" Vilo tersenyum dan mengetuk pintu hitam itu.

"Masuklah" Suara seorang wanita terdengar. Ia menyapa Vilo dengan senyum lebar saat pintu terbuka.

"Duduklah" Ucapnya singkat.

Vilo kini duduk di sofa yang tepat berhadapan dengan Jhea. Ia menatap Jhea tajam tanpa sedikitpun membalas senyuman ramah milik Jhea.

"Aku sudah menduganya kalau kau yang akan datang Vilomena Courtney" Ia tersenyum lagi.

"Jadi... Apa yang ingin kau tahu dariku?" Tambahnya santai sambil menyeruput teh hangat yang disajikan dengan gelas keramik elegan berukir emas.

"Apa yang kau inginkan dari ayahku? Apa Perusahaan ini sudah diambang kehancuran?" Tanya Vilo tajam.

"Wow... Kau sangat tajam Vilo" Jhea terkekeh pelan.

"Aku... Aku disini tidak untuk bercanda. Aku kesini untuk memperingatkanmu agar kau urungkan niat busukmu itu atau... Atau kau akan kehilangan hal yang paling berharga. Jauh lebih berharga dari perusahaan ini. Dan kau tahu aku takkan pernah bermain-main dengan perkataanku. Sebaiknya kau mulai memikirkannya" Tatapan Vilo meruncing. Penekanan setiap kata yang ia berikan layaknya busur panah yang menyerang Jhea tanpa ampun.

"Aku tak yakin kau mampu melakukannya. Kita lihat siapa yang akan hancur di akhir. Kau tahu dunia ibu dan ayahmu sangat sensitif dengan isu ini bukan? Sekali aku memunculkan diriku di depan umum maka orang tuamu akan terguncang" Jhea membalas dengan nada meremehkan.

"Apa kita harus melakukan siaran langsung disini? Sekarang?" Tantang Vilo yakin. Hal tersebut membuat Jhea terkesiap dan kehilangan kata. Nafas Jhea terdengar tak beraturan saat Vilo dengan beraninya menantangnya.

"Kau tahu siapa yang akan lebih hancur bukan? Clay Dempsey... Ia akan hancur seketika. Ah... Tidak! Ia sudah cukup hancur saat ini, haruskah kita membuatnya lebih hancur?" Senyum kecil menghiasi bibir berpoleskan lipstick nude brown milik Vilo.

"Pikirkanlah lagi. Muncullah ke permukaan bila kau mau dan bunuhlah anakmu dengan segala keserakahanmu itu. Bunuhlah ia perlahan seperti yang selama ini kau lakukan" Kata-kata Vilo menusuk dalam. Jhea terlihat mengepalkan tangan kanannya menahan amarah.

"Apa kau mengancamku?" Pertanyaan Jhea membuat Vilo terkekeh. Jelas terlihat benar Jhea telah terpukul jatuh oleh serangan Vilo.

"Apa kau merasa terancam?" Vilo memiringkan kepalanya sambil tersenyum menang.

"Kau!!!" Jhea menyatukan giginya kesal.

"Aku pergi dulu. Hubungi aku saat kau telah memutuskan. Kau tahu bagaimana cara menghubungiku bukan?" Vilo tersenyum dan berlalu pergi dari ruangan Jhea.

Vilo menghela nafas panjang saat ia sudah berada di dalam mobil. Air mata perlahan menetes di pipinya. Ia menekan segala emosinya sedari tadi. Ia harus menyembunyikan segala ketakutannya. Vilo menatap tangannya yang terlihat bergetar. Ia tahu keadaan emosinya membawa pengaruh buruk pada fisiknya.

"Kau telah melakukannya dengan baik, Vilo" Ucapnya dalam hati.

REVENGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang